Rabu, 01 Juni 2016

Fiqh : Riba dan Bunga Bank



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada mulanya riba merupakan suatu tradisi bangsa Arab pada jual beli maupun pinjaman dimana pembeli atau penjual, yang meminjam atau yang memberi pinjaman suatu barang atau jasa dipungut atau memungut nilai yang jauh lebih dari semula, yakni tambahan (persenan) yang dirasakan memberatkan.
Namun setelah Islam datang, maka tradisi atau praktek seperti ini tidak lagi diperbolehkan, dimana oleh Allah SWT menegaskan dengan mengharamkannya dalam Al-Qur’an dan hadist yang melarang riba, bahkan oleh Allah dan Rasul-Nya akan memusuhi dan memeranginya apabila tetap melanggarnya, yang demikian itu dimaksudkan untuk kemaslahatan dan juga kebaikan umat manusia.
Dan pada dasarnya pengertian mengenai riba dan bunga bank sudah sangat familiar di mata masyarakat. Namun sebagian mereka tidak mengetahui pasti kedudukannya dalam hukum Islam. Seperti halnya riba adalah salah satu usaha mencari rizeki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah swt. Sedangkan Bank menurut jumhur ulama’ merupakan perkara yang belum jelas kedudukan hukumnya dalam Islam karena bank merupakan sebuah produk baru yang tidak ada nashnya.

B.     Rumusan Masalah
a.       Bagaiman  pengertian riba dan perbedaaannya dengan bunga bank dalam Islam ?
b.      Apa dan jelaskan macam-macam riba ?
c.       Bagaimana hukum riba dan bunga bank dalam Islam ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.   RIBA
                    1.            Pengertian Riba
Asal makna riba menurut bahasa Arab (raba-yarbu) atau dalam bahasa Inggrisnya usury/interest ialah lebih atau bertambah (ziyadah/addition) pada suatu zat, seperti tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman[1]. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Seperti arti riba pada surat Al-Hajj ayat 5 yang artinya :
Kemudian apabila kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah serta menumbuhkan berbagai macam tumbuhan yang indah.”  (Q.S. Al-Hajj : 5)
Secara terminologi, menurut pendapat Al-Jurjani riba adalah kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang di syaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad. Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan, riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya atau uangnya karena janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan. Menurut ulama fiqih mendefinisikan berikut ini.[2]

a.       Ulama Hanabilah
“Pertambahan sesuatu yang dikhususkan.”
b.      Ulama Hanafiyah
“Tambahan pada harta pengganti dalam pertukaran harta dengan harta”.

                    2.            Macam-Macam Riba
Para ulama fiqih membagi riba menjadi empat macam, yaitu:
a.      Riba Fadl
Riba fadl adalah tukar menukar atau jual beli antara dua buah barang yang sama jenisnya, namun tidak sama ukuranya yang disyaratkan oleh orang yang menukarnya, atau jual beli yang mengandung unsur riba pada barang yang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Sebagai contohnya adalah tukar-menukar emas dengan emas atau beras dengan beras, dan ada kelebihan yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Kelebihan yang disyaratkan itu disebut riba fadl. Supaya tukar-menukar seperti ini tidak termasuk riba, maka harus ada tiga syarat yaitu:
1)      Barang yang ditukarkan tersebut harus sama.
2)      Timbangan atau takarannya harus sama.
3)      Serah terima pada saat itu juga.

b.      Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis maupun yang tidak sejenis atau jual beli yang pembayarannya disyaratkan lebih oleh penjual dengan waktu yang dilambatkan. Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding untung pada benda yang ditakar atau yang ditimbang yang berbeda jenis atau selain yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya. Maksudnya adalah menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual 1 kg beras dengan 1 ½ kg beras yang dibayarkan setelah dua bulan kemudian. Kelebihan pembayaran yang disyaratkan inilah yang disebut riba nasi’ah.
“Dari Samurah bin Jundub, sesungguhnya Nabi saw telah melarang jual beli binatang yang pembayarannya diakhirkan”(H.R Lima ahli hadist) 

c.       Riba Qardi
Riba qardi adalah meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan dari orang yang meminjam. Misalnya Ali meminjam uang kepada Abbas sebesar Rp.10.000, kemudian Abbas mengharuskan kepada Ali untuk mengembalikan uang itu sebesar Rp. 11.000. inilah yang disebut riba qardi.

d.      Riba yad
Riba yad yaitu berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima. Contohnya, orang yang membeli suatu barang sebelum ia menerima barang tersebut dari penjual, penjual dan pembeli tersebut telah berpisah sebelum serah terima barang itu. Jual beli ini dinamakan riba yad. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa riba yad adalah jual beli yang mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai berai antara dua orang yang berakad sebelum serah terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara gandum dan syair tanpa harus saling menyerahkan dan menerima ditempat akad.

Menurut ulama Syafi’iyah bahwa antara riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak jelas. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegang barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar.
Adapun dampak akibat praktek dari riba itu sendiri diantaranya adalah sebagai berikut:[3]
a.       Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin, sehingga menjadiakan si kaya semakin berjaya dan si miskin tambah sengsara.
b.      Dapat menyebabkan kebangkrutan usaha bila tidak disalurkan pada kegiatan-kegiatan yang produktif, karena kebanyakan modal yang dikuasai oleh the haves (pengelola) justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif.
c.       Menyebabkan kesenjangna ekonomi, yang pada gilirannya bisa mengakibatkan kekacauan sosial.

3.    Dasar Hukum Riba
Dasar hukum melakukan riba adalah haram menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ menurut ulama. Keharaman riba terkait dengan sistem bunga dalam jual beli yang bersifat komersial. Di dalam melakukan transaksi atau jual beli, terdapat keuntungan atau bunga tinggi melebihi keumuman atau batas kewajaran, sehingga merugikan pihak-pihak tertentu. Fuad Moch. Fahruddin berpendapat bahwa riba adalah sebuah transaksi pemerasan.
Dasar hukum pengharaman riba menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ para ulama adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an

 “...Sesumgguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah: 275)

 “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. ” (Q. S.  Al-Baqarah : 276)
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”. (Q.S. Al-Baqarah : 278-279)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (Q.S.Ali Imran : 130)
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)(Q.S. Ar-Rum : 39)

b. Sunnah Rasulullah SAW.
 “Dari Jabir r.a. ia berkata, ‘Rasulullah saw. telah melaknati orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja’.” (H.R. Muslim )
“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan”. Para sahabat bertanya,”Apakah tujuh hal tersebut ya Rasulullah?” Rasulullah saw. bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada saat perang, dan menuduh berzina wanita yang suci, beriman, dan lupa (lupa dari maksiat).” (H.R. Bukhari dan Muslim)
“Dari Abi Hurairah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw. : “(jual-lah) emas dengan emas sama timbangannya, sama bandingannya. Barang siapa menambah atau minta tambah, maka ia itu riba”.[4]
“Dari Fadlalah bin ‘Ubaid, ia berkata: Pada hari peperangan Khaibar saya beli kalung dengan harga dua belas dinar yang ada padanya emas dan manik, lalu saya pisahkan dia, maka terdapat padanya (emas) lebih daripada dua belas dinar. Saya beri tahu yang demikian kepada Nabi saw., maka sabdanya : ‘Tidak boleh dijual sebelum dipisahkan’.” H.R. Muslim.[5]

c. Ijma’ para ulama
Para ulama sepakat bahwa seluruh umat Islam mengutuk dan mengharamkan riba. Riba adalah salah satu usaha mencari rizki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah SWT. Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Riba akan menyulitkan hidup manusia, terutama mereka yang memerlukan pertolongan. Menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu Islam mengharamkan riba.

B.  PENGERTIAN BUNGA BANK
Bunga menurut Maulana Muhammad Ali adalah tambahan pembayaran atas jumlah pokok pinjaman. Sedangkan menurut Al-Jurjani, bunga adalah: “kelebihan/ tambahan pembayaran tanpa ada ganti rugi/ imbalan yang disaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang berakad (bertransaksi)”. Muhammad Hatta membedakan antara bunga dengan riba. Ia menyatakan bahwa riba diberlakukan untuk kebutuhan konsumtif. Sedangkan bunga diberlakukan untuk kebutuhan produktif. Demikian pula istilah usury dan interest, bahwa usury adalah bunga pinjaman yang sangat tinggi, sehingga melampaui suku bunga yang diperbolehkan oleh hukum. Sedangkan interest  ialah bunga pinjaman yang relatif mudah (kecil). Namun dalam prakteknya, maulana Muhammad Ali menyatakan bahwa sukar untuk membedakan antara usury dan interest sebab pada hakekatnya kedua-duanya memberatkan bagi peminjam.[6]
Berikut ini adalah cuplikan dari keputusan – keputusan penting yang berkaitan dengan pengharaman bunga bank yang dikeluarkan oleh beberapa majelis fatwa ormas Islam:
a.       Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Beberapa isi Fatwa MUI no. 1 tahun 2004 adalah sebagai berikut:[7]
1)        Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, yaitu Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.
2)        Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik di lakukan olehBank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
b.      Majelis Tarjih Muhammadiyah
Tarjih Muhammadiyah Sidoarjo (1986) memutuskan:[8]
1)        Riba hukumnya haram sesuai dengan dalil al-Quran dan Sunnah
2)        Bank dengan sistem bunga hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal
3)        Bunga yang diberikan oleh bank – bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara mutasyabihat.
Sebagai pengganti system bunga tersebut, maka bank Islam menggunakan berbagai macam cara yang tentunya bersih dan terhindar dari hal-hal yang mengandung unsur riba. Diantaranya adalah sebagai berikut :[9]
  1. Wadiah (titipan uang, barang, dan surat berharga atau deposito). Bisa diterapkan oleh bank Islam dalam operasionalnya menghimpun dana dari masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, barang dan surat-surat berharga sebagai amanah yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank Islam. Bank berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu kepada waktu pemiliknya membutuhkan
  2. Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksana atas dasar perjanjian profit and loss sharing).dengan cara ini, bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya baik besar maupun kecil dengan perjanjian bagi hasil dan rugi yang perbandingannya sama sesuai dengan perjanjian, misalnya fifty-fifty. Dalam mudharabah ini, bank tidak mencapuri manajeman perusahaan.
  3. Musyarakah/ syirkah (persekutuhan). Di bawah kerja sama cara ini, pihak bank dan pihak perngusaha mempunyai peranan (saham) pada usaha patungan (joint venture.) karena itu, kedua belah pihak berpartisipasi mengelola usaha patungan ini dan menanggung untung ruginya bersama atas dasar perjanjian tersebut.
  4. Murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atau cost plus atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur). Dengan cara ini, orang pada hakikatnya ingin merubah bentuk bisnisnya dari kegiatan pinjam meminjam menjadi transaksi jual beli (lending activity menjadi sale and purchase transaction). Dengan system ini, bank bias membelikan/menyediakan barang-barang yang diperlukan oleh pengusaha untuk dijual lagi, dan bank minta tambahan harga (cost plus) atas harga pembelinya. Syarat bisnis dengan murabahah ini ialah si pemilik barang dalam hal ini bank harus memberi informasi yang sebenarnya kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya (profit margin) daripada cost plus-nya itu.
  5. Qargh Hasan (pinjaman yang baik atau bernevolent loan). Bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga (benevolent loan) kepada para nasabah yang baik, terutama nasabah yang punya deposito di bank Islam itu sebagai salah satu service dan penghargaan bank kepada para deposan, karena deposan tidak menerima bunga atas depositonya dari bank Islam.
  6. Bank Islam juga dapat menggunakan modalnya dan dana yang terkumpul untuk investasi langsung dalam berbagai bidang usaha yang profitable. Dalam hal ini, bank sendiri yang melakukan manajemennya secara langsung, berbeda dengan investasi patungan, maka manajemennya dilakukan oleh bank bersama partner usahanya dengan perjanjian profit and loss sharing.
  7. Bank Islam boleh pula mengelola zakat di Negara yang pemerintahnya tidak mengelola zakat secara langsung. Dan bank juga dapat menggunakan sebagian zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif, yang hasilnya untuk kepentingan agama dan umum.
  8. Bank Islam juga boleh memungut dan menerima pembayaran untuk :
    1. Mengganti biaya-biaya yang langsung dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaan untuk kepetingan nasabah, misalnya biaya telegram, telpon, telex dalam memindahkan atau memberitahukan rekening nasabah dan sebagainya.
    2. Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, dan untuk sarana dan prasarana yang disediakan oleh bank, dan biaya administrasi pada umumnya para ulama dan cendikiawan Muslim sendiri hingga kini masih tetap berbeda pendapat tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga banknya.

BAB III
KESIMPULAN


Jenis- jenis riba ; 1) Riba Qardh: Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh). 2) Riba Jahiliyyah : Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan. 3) Riba Fadhl :Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. 4) Riba Nasi’ah : Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Dasar hukum melakukan riba adalah haram menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ menurut ulama. Keharaman riba terkait dengan sistem bunga dalam jual beli yang bersifat komersial. Perbedaa antara bunga dengan riba. Ia menyatakan bahwa riba diberlakukan untuk kebutuhan konsumtif. Sedangkan bunga diberlakukan untuk kebutuhan produktif.







DAFTAR PUSTAKA

A Hassan, Tarjamah Bulughul Maram,Bandung: CV.Diponegoro, Jil.II, Cet.XII, 1985
Fatwa MUI No. 01 tahun 2004 tentang Bunga, http://www.mui.go.id
Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, Lahore: The Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, 1950
Rachmat Syafe’i,M.A,Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, cet.10)
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta, Gunung Agung, 1997
                        , Masail Fiqhiyah Kapita Selecta Hukum Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1994), hal. 102-103

Muhammad Syafei Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, 2001. hal. 63



[1]Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, (Lahore: The Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, 1950), hlm. 721.
[2]Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i,M.A,Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, cet.10), hlm.259

[3]Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta, Gunung Agung, 1997, hlm. 103
[4]A Hassan,Tarjamah Bulughul Maram,(Bandung:CV.Diponegoro,Jil.II,Cet.XII,1985), hlm.418
[5]Ibid., hlm.423
[6]Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Selecta Hukum Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1994), hal. 102-103

[7]Fatwa MUI No. 01 tahun 2004 tentang Bunga, http://www.mui.go.id
[8]Muhammad Syafei Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, 2001. hal. 63

[9]Zuhdi, op. cit.,1997,  hlm. 109

0 komentar:

Posting Komentar

 
Islam Crescent Moon