Rabu, 01 Juni 2016

Sekolah Sebagai Organisasi Formal



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

            Secara sederhana, kajian sosiologi pendidikan bertalian dengan analisis ilmiah tentang proses interaksi sosial yang terkait dengan aktivitas pendidikan, baik dikeluarga, kehidupan sosio-kultural masyarakat maupun pada taraf objektif tentang relasi sosial yang menyusun kontruksi total realitas pendidikan di suatu negara.
            Di sini, kriteria sekolah sebagai salah satu wujud organisasi formal ditinjau dari kaitan unsur-unsur sosial pendukungnya dalam proses mencapai tujuan pendidikan. Jadi dalam hal ini sekolah dipandang sebagai sebuah pranata untuk memenuhi kebutuhan khusus tertentu. Bisa juga “sekolah”diartikan sebagai sebuah organisasi ,yaitu organiasi social yang mempunyai struktur tertentu yang melibatkan sejumlah orang dengan tugas melaksanakan suatu fungsi untuk memenuhi suatu kebutuhan. Melihat keberadaan sekolah begitu penting bagi eksistensi dan keberlangsungan pendidikan, maka topik ini lebih memfokuskan pada kajian sosiologi tentang sekolah sebagai organisasi.

B. Rumusan Masalah

1.      Mengapa sekolah dikategorikan sebagai organisasi?
2.      Bagaimana persoalan yang ada di sekolah?






BAB II
PEMBAHASAN


A. Sekolah: Organisasi
1.      Pengertian Sekolah

Kata sekolah berasal dari bahasa latin, yakni skhole, scolae, skhoe atau skhola yang memiliki arti waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan diwaktu luang bagi anak-anak ditengah kegiatan mereka, yakni bermain dan menghabiskan waktu menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang adalah mempelajari cara berhitung, secara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Untuk mendampingi dalam kegiatan scola anak-anak didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memeberikan kesempatan-kesempatan yang sebebsar-besarnya kepada anak untuk menciptakan sendiri dunianya melalui berbagai pelajaran diatas.[1]
Kini, kata sekolah dikatakan sunarto (1993), telah berubah berupa bangunan atau lembaga untuk belajar dan serta tempat memberi dan menerima pelajaran. Sekolah dipimpin oleh seorang kepala sekolah, dan kepala sekolah dibantu oleh wakil kepala sekolah, jumlah kepala sekolah bisa berbeda pada tiap sekolahanya, tergantung dengan kebutuhan. Bangunan sekolah disusun meninggi untuk memenfaatkan tanah yang tersedia dan dapat diisi dengna fasilitas yang lain. Ketersidiaan sarana pada suatu sekolah memiliki peranan penting dalam terlaksanakan proses pendidikan.[2]
Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang un tuk pengajaran siswa atau murid di bawah pengawasan pendidik (guru). sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal, yang umumnya wajib, dalam upaya menciptakan anak didik agar mengalami kemajuan setelah melalui proses pembelajaran. Nama- nama sekolah ini berfariasi menurut negara, tetapi umumnya termasuk sekolah dasar untuk anak-anak muda dan sekolah menengah untuk remaja yang telah menyelesaikan sekolah dasar.[3]
Ada pula sekolah non pemerintah, yang yang disebut sekolah swasta (private schools). Sekolah swasta mungkin untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus ketika pemerintah tidak bisa memberi sekolah khusus bagi mereka, keagamaan, seperti sekolah Islam (madrasah, pesantren); sekolah kristen, sekolah katolik, sekolah Hindu, sekolah Buda atau sekolah khusus lainya yang memeiliki standar lebih tinggi untuk mempersiapkan prestrasi pribadi anak didik.[4]

2.      Pengertian Organisasi
            Robert Presthus dalam bukunya The Organizational Society (1962) menyatakan bahwa masyarakat kita merupakan yang terdiri dari organisasi-organisasi.[5] Pernyataan tersebut menunjukkan betapa organisasi telah menjadi fenomena yang menonjol dalam kehidupan. Jadi organisasi merupakan kumpulan orang-orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut Sondang P. Siagian organisasi adalah setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk sesuatu tujuan bersama dan terikat secara formal.[6] Atmosudirdjo berpendapat bahwa organisasi adalah suatu bentuk kerja sama antara sekelompok orang-orang berdasarkan suatu perjanjian untuk bekerja sama guna mencapai tujuan yang tertentu.[7]
Dari pendapat para ahli di atas dapat kita simpulkan bahwa organisasi adalah sekelompok orang yang memiliki visi dan misi sama yang saling berkaitan yang tidak dapat diganggu gugat dengan yang lainnya, sehinnga organisasi itu dapat berjalan dengan lancar dan sebagaimana mestinya.

3.      Sekolah Sebagai Organisasi
Sekolah sebagai organisasi adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri. Terbentuknya lembaga sosial berawal dari individu yang saling membutuhkan kemudian timbul aturan-aturan yang dinamakan norma kemasyarakatan. Lembaga sosial sering pula dinamakan pranata sosial.[8]
Philip Robinson (1981) menyebut sekolah sebagai organisasi yaitu unit sosial yang secara sengaja dibentuk untuk tujuan-tujuan tertentu. Sekolah sengaja diciptakan untuk tujuan tertentu, yaitu memudahkan pengajaran sejumlah pengetahuan.[9]
Sekolah sebagai organisasi memiliki perbedaan dengan organisasi lainnya, sebagai contoh dengan organisasi pabrik atau klub sepak bola. Secara umum, yang membedakan segala organisasi dari organisasi yang lainnya tujuan yang ingin dicapai. Sebuah pabrik sepatu dipastikan memiliki tujuan menghasilkan barang-barang jadi berupa alas kaki, sedangkan sekolah bertujuan menghasilkan individu-individu yang terdidik.[10]
Sekolah merupakan contoh organisasi formal, di mana pada 1957, Parsons menulis, “Banyak pekerjaan yang harus dilakukan sebelum kita memiliki sesuatu yang pantas diberi nama teori mengenai organisasi formal”. Hal yang sama, dikemukakan Bidwell (1965) dan Davies (1973), yang mengatakan meskipun sekolah merupakan benda yang sudah tidak asing bagi kita dan college-college bagi banyak orang, kemampuan kita untuk menjelaskan dan menggeneralisasikan cara kerja dengan mendalam masih terkendala pada masalah kekurangan dalam analisis organisasi itu sendiri dan kelangkaan telaah empiris dalam pendidikan. Berlangsungnya terus ketiadaan suatu teori yang koheren dan dapat diterima secara umum mengenai sekolahsebagai organisasi mungkin merupakan petunjuk bahwa dalam hal ini kita hanya berhadapan dengan suatu khayalan sosiologis belaka. Kompleksitas lembaga adalah sedemikian rupa sehingga tidak ada teori umum yang dpat menggambarkan nuansa dan kekhasan lembaga-lembaga yang unik tanpa menimbulkan kesan dangkal dan sepele. Yang telah dikembangkan adalah berbagai cara memandang sekolah, perspektif yang menerangi beberapa aspek dan mengaburkan aspek lainnya.
Lee R. Stainer (1960) dalam Abdullah Idi mengatakan bahwa sebuah organisasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Formalitas, merupakan ciri organisasi sosial yang menunjukkan kepada adanya perumusan tertulis.
b.      Hierarki, merupakan ciri organisasi sosial yang menunjukkan pada suatu pola kekuasaan dan wewenang yang berbentuk piramida.
c.       Besarnya dan kompleksnya, dimana organisasi sosial memiliki banyak anggota sehingga hubungan sosial antar anggota bersifat tidak langsung (impersonal).
d.      Lamanya (duration), menunjukkan pada diri bahwa eksistensi suatu organisasi lebih lama dari pada keanggotaan orang-orang dalam organisasi itu.

Jelas, dari pendapat tentang ciri-ciri organisasi di atas, bahwa akan mudah membedakan mana yang dikatakan organisasi dan mana yang bukan sebuah organisasi. Ary Gunawan (2000) mengatakan bahwa sekelompok orang yang mendirikan sebuah organisasi memiliki alasan-alasan (reason) mendirikan organisasi itu. Seseorang memiliki alasan:
a.       Alasan sosial (social reason)
b.      Alasan materi (materiil reason)
Masih dalam lingkup sekolah sebagai organisasi formal, beberapa ahli telah menyajikan pranata-pranata manajemen yang berbeda dalam menerapkan fungsi manajemen di sekolah, diantaranya adalah:
a.       Manajemen ilmiah
Pokok-pokok manajemen ilmiah antara lain: menggunakan alat ukur dan perbandingan yang jelas dan tepat,menganalisis dan membandingkan proses yang telah dicapai, menerima hipotesis terkuat yang lulus dari verifikasi serta menggunakannya sebagai kriteria tunggal.
b.      Sistem sosio-teknis
Sebagai sistem sosio-teknis sekolah mencakup banyak hal yang menjadi input organisasi.
c.       Pendekatan sistem
Model pengelolaan yang paling banyak digunakan adalah bentuk teori sistem. Ciri khas pendekatan ini adalah pengakuan adanya bagian-bagian suatu sistem yang terkait erat pada keseluruhan.
d.      Pendekatan individual
Pendekatan individual mengakomodasi nilai-nilai kemanusiaan dalam organisasi. Akan tetapi, pada perkembangannya pendekatan individual memiliki dua kelompok yakni:
a.       Teori Pasif
b.      Teori Aktif

B. Sekitar Persoalan di Sekolah

            Dalam hal ini, pengamatan organisasi lebih ditekankan pada skala makronya. Analisis yang muncul seputar sekolah banyak mengupas konflik-konflik antar peranan yang terjadi di lembaga sekolah. Seperti yang diungkapkan Davies dalam Abdullah Idi (2010) bahwa lembaga pendidikan sering dirasuki oleh nilai-nilai yang terkadang bertentangan antar pihak baik dari para guru, orang tua, siswa, maupun pihak aparat pimpinan sekolah. Dari sini analisis yang bisa dijadikan untuk mengamati keberadaan sekolah sebagai lembaga formal dalam aktivitas pendidikannya terbagi menjadi dua persoalan yakni:

1.    Konsep Tujuan Organisasi
Sudah menjadi konsekuensi bagi setiap organisasi untuk menetapkan tujuan lembaga. Berbeda pada organisasi umumnya, sekolah memiliki ciri khas yang agak unik, khususnya dari objek yang menjadi tujuannya. Dengan menetapkan posisi peran kelembagaan yang bertugas untuk membekali peserta didik seperangkat pengetahuan dan keterampilan maka sekolah telah mengumandangkan jenis tujuan yang bersifat abstrak.
Selain itu, dimensi abstrak yang menjadi titik tolak penafsiran para praktisi sekolah dapat memunculkan hambatan besar untuk menyatukan pemahaman makna tujuan pendidikan antarposisi. Berdasarkan struktur organisasi yang terbentuk, guru bertugas sebagai pelaksana pengajar kepada siswa, supervisor berfungsi membina para guru dan tugas formal administrasi sekolah ialah mengkoordinasikan dan menentukan berbagai raga aktivitas dalam lingkungan sekolah.
Masing-masing pemegang posisi mempunyai hak dan kewajiban tertantu dalam hubungan dengan posisi lain. Selain objek tujuan yang sarat nilai, posisi-posisi peran yang cukup kompleks di lingkup internal, maka sebuah sekolah akan berharap langsung dengan komponen nilai-nilai lain di luar lingkungannya. Spesifikasi tujuan yang telah ditetapkan oleh sekolah ternyata harus bersinggungan erat dengan alokasi peran pendidikan di luar sekolah, terutama keluarga.
Kompleksitas permasalahan dan pertentangan terjadi di sekolah merupakan derivasi dari perangkat-perangkat manusia yang memiliki beragam peran spesifik di lembaga sekolah. Kenyataan membuktikan, salah satu faktor yang memberatkan kerja organisasi adalah gejala kesalahpahaman untuk memahami kawan sekerja berkenaan dengan hak dan kewajiban yang berbeda sesuai dengan status pekerjaannya. Kecenderungan yang terjadi, hampir semua tanggung jawab dan tugas sekolah berhubungan dengan siswa selalu dilimpahkan kepada seorang pendidik. Sedangkan pemberian fungsi-fungsi peran yang berbeda baik dari aspek bimbingan konseling, pelayanan birokrasi dan keuangan, serta peran penegak ketertiban dan kedisiplinan tidak pernah tersiar secara utuh kepada para siswa.
Dalam analisis sosiologi, konflik peranan di lingkup internal sekolah disebabkan pada rangkaian hak dan kewajiban yang memengaruhi harapan para pemegang status pekerjaan. Dalam waktu yang sama kepala sekolah mengharapkan para guru selalu tertib dalam melaksanakan pengajaran. Sementara guru sendiri selalu berkeinginan memberikan ragam materi yang selengkap-lengkapnya kepada para siswa. Hal ini tentu bertentangan dengan asumsi umum para siswa yang jelas-jelas berharap agar para guru tidak terlalu banyak menyodorkan materi yang harus mereka hafalkan. Hal tersebut tentunya semakin menjauhkan kesadaran warga sekolah mengenai hakikat mendasar dari fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan.
Dapat dijelaskan pula tentang kelas sebagai suatu sistem sosial. Pada dasarnya, proses-proses pendidikan yang sesungguhnya adalah interaksi kegiatan yang berlangsung di ruang kelas. Untuk keperluan tersebut pembahasan mengenai kegiatan kelas menempati  subtopik tersendiri dalam susunan kajian topik ini. Dari sudut sosiologi beberapa pendekatan telah digunakan sebagai alat analisis untuk mengamati proses-proses yang terjadi di ruang kelas. Di mulai dari pengamatan Parsons yang mengetengahkan argumentasi ilmiahnya tentang kelas sebagai suatu system social. Berkaitan dengan fungsi sekolah maka kelas merupakan kepanjangan dari proses sosialisasi anak di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Kiprah interaksi di kelas secara khusus berusaha untuk memantapkan penanaman nilai-nilai dari masyarakat.
Di sisi lain, pendekatan interaksionis cenderung menekankan analisis sosio-psikologis untuk melihat ruang kelas. Sejumlah tokoh seperti Delamont, Lewwin, Lippit, White dan H.H Anderson adalah figur-figur yang mengeksplorasi aspek interaksi antarguru dan murid. Selaras dengan hal tersebut, White Hall (1949), yang memanfaatkan karya-karya pendahulunya mencobamenemukan pengaruh situasi sosial emosional dalam ruang kelas. Ia membedakan antara metode pengajaran yang cenderung­ teacher-center dengan tipologi pembelajaran learner-center dengan beranggapan bahwa tipe yang kedua merupakan cara yang paling efektif untuk kegiatan pembelajaran di kelas.
Dalam satu rangkaian penelitian Flanders (1967) memperkuat studi tentang interaksi di kelas. Menurut pendapatnya, semakin besar ketergantungan murid kepada guru, semakin kurang siswa tersebut mengembangkan strategi-strategi belajarnya sendiri. Inti dari penerapan analisis interaksi adalah menganalisis seluruh proses interaksi edukatif di kelas dan pengaruh-pengaruh psikologinya kepada para siswa. Hal ini terkait erat dengan metode pendekatan yang diterapkan oleh guru dalam mengelola pembelajaran di kelas. Model pendekatan interpretatif juga bermanfaat untuk menangkap segala hal yang berpola di dalam aktivitas ruang kelas. Yang termasuk hasil penelitian di lingkup kategori interpretatif adalah analisis Waller.
Bagi Waller, pendidikan merupakan seni menanamkan definisi-definisi situasi yang berlaku pada kaum muda dan sudah diterima oleh golongan penyelenggara. Dengan demikian, sekolah merupakan satu alat ampuh untuk melakukan kontrol sosial. Inti dari studi tersebut mencoba menerangkan tentang fungsi sekolah yang memengaruhi kesadaran para siswa untuk selalu konsekuen mengamalkan kriteria penafsiran nilai yang ditekankan oleh sekolah.

Analisis lain juga mengungkap bahwa sumber ketergantungan antar pendidik/guru dan anak didik berasal dari dualisme ketegangan peran pendidik di kelas. Sebagai bawahan kepala sekolah, seorang guru harus menerapkan ketentuan administratif sekolah secara ketat kepada murid-murid, namun di lain pihak tanggung jawab moral sebagai pendidik yang erat dengan kebijaksanaan akan menghalang-halangi penerapan sanksi kepada siswa tersebut. Sebagai sistem sosial tentunya di dalam kelas telah membentuk konfigurasi sosial di dunia pergaulan anak didik . Dari sini tampak bahwa konsep diferensiasi (differentiation)[11]  mengacu pada organisasi penentuan penghuni kelas berdasarkan prestasi anak didik. Tentunya dari implikasi dari pengelompokan ini berakibat terbentuknya polarisasi antar kelompok, baik itu kelompok si kaya, si bodoh, si pandai, si pemalu. Apabila pendidik mengetahui fakta tersebut dan mampu mengelola interaksi antar kelompok maka proses penangkapan pengetahuan semakin dinamis semakin kaya. Sebaliknya apabial pendidik cenderung masa bodoh dengan keadaan demikian justru semakin mempertegas potensi desentraligasi antara anak didik.
Lingkungan eksternal sekolah, dapat di jelaskan bahwa sekolah bernaung dalam suatu wilayah eksternal yang dihuni oleh kumpulan manusia yang bernama masyarakat.  Gejala timbal balik dari sekolah kepada masyarakat maupun sebaliknya sebagai realitas kesehariaan yang akan selalu terjadi. Keberadaan sekolah di lingkunagan masyarakat kota akan jelas mempengaruhi orientasi pendidik tersebut dibanding sekolah yang terletak digunung. Baik dari segi kuantitas peserta didik, maupun kompleksitas kegiatan yang terjadwal pada kegiatan-kegiatan akademik di sekolah.
Kontribusi selanjutnya adalah benturan konflik antar peran pendidikan dengan posisi lain di masyarakat.  Getzel dan Guba[12] menemukan bahwa banyak harapan yang terkait dengan posisi pendidik (guru), pada kenyataannya telah berbenturan dengan harapan posisi lain di luar sekolah. Dampak dari konflik ini terkadang mengganggu stabilitas individu atau bisa jadi meluas pada segi-segi materiil di lingkungan sekolah.
Pada masyarakat modern, kehidupan manusia tidak pernah lepas dari pergulatan aktivitasnya dengan organisasi. Secara historis, keberadaan organisasi merupakan cerminan tingkat kemajuaan masyarakat yang sudah tinggi. Masyarakat modern memanfaatkan fungsi lembaga-lembaga sosialnya dengan pola hubungan dan orientasi sistem jaringan kerja yang sistematis, termekanisasi dalam pola-pola kegiatan yang formal, inpersonal, terstuktur dan rasional. Karena itu, dalam kehidupan sehari-hari, kita terlepas dari organisasi.
Sebagai organisasi sosial, sekolah menggunakan prinsip-prinsip birokrasi dalam melayani kerja dan agenda-agenda aktivitasnya. Organisasi formal (termasuk sekolah) menggunakan sebuah pola hubungan yang bersifat rasional untuk menggerakkan roda organisasi,  diman sistem jabatan ini dinamakan birokrasi yang berarti pengaturan atau pemerintahan oleh pejabat.
Sekolah sebagai organisasi sekaligus lembaga pendidikan di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi dud kelompok: sekolah dan luar sekolah. Pembagian jenis sekolah, seperti diungkapakan Omar Hamalik (2005) lebih rinci dibagi menjadi tiga bentuk: informal, formal, dan non formal. Ketiga klsifikasi dalam pergumulannya  dimasyarakat memilik peran yang berbeda-beda. Lembagga pendidikan pertama, yakni keyakinan dan norma. Lembaga pendidikan kedua, yakni formal (sekolah) lebih diarahkan pada pengembanga intelektual anak didik. Lembaga ketiga, yakni informal (masyarakat), perannya lebih banyak pada pembentukan karakter sosial.[13]
Sebagai lembaga pendidikan, sekolah sebagai organisasi sosial dalam sosiologi, peran dan fungsisnya sebagai berikut: a) fungsi menifestasi pendidikan: membantu orang mencari nafkah; menolong mengembangkan potensinya demi pemenuhan hidunya;  (b)  fungsi laten lembaga pendidikan, dimana fungsi ini bertalian dengan fungsi lembaga pendidikan secara tersembunyi yakni melahirkan atau menciptakan kedewasaan anak didik. Atau, fungsi pendidikan yan bertalian dengan fungsi yang nyata (manifest), yakni mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencarai nafakah; mengembangkan bakat; mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan kepentingan masyarakat; melestarikan kebudayaan; menanamkan keterampilan yan perlu partisipasi dalam demokrasi. Sedangkan, fungsi latent lembaga pendidikan adalah: (1) menguranagi pengendalian orang tua melalui pendidikan sekolah, dimana orang tua melimpahkan tugas wewenangnya dalam mendidik anak dalam sekoalah; (2) menyediakan sarana untuk pembangkangan dimasyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang suatu hal, misalnya pendidikan seks dan sikap terbuka; (3) mempertahankan sistem kelas sosial, dimana pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada anak didik untuk menerima perbedaan, dan status yang ada dimasyarakat.[14]
Dikatakan Harton dan Hurt (1996), bahwa ada empat jenis sasaran organisasi sekolah. Tiap sasaran meliputi titik tolak pandangan terhadap organisasi sekolah. Dari empat pandangan itu, diharapkan dapat memahami tentang kompleksitas organisasi sekolah.
Pertama, sasaran formal dimana ruang lingkup ini meliputi tujuan formal dari suatu organisasi. Sekolah sebagai lembaga pendidikan sudah mestinya mempunyai organisasi yang baik agar tujuannya tercapai.
Kedua, sasaran informal, di man tidak sepenuhnya bekerja sesuai denag ketentuan formal. Dalam banyak hal, lebih dimodifikasi oleh tiap anggotanya sesuai dengan kapasitas pemaknaan kesadaran mereka tentang organisasi.
Ketiga, sasaran idiologis. Seperti tersirat dalam istilah tersebut, sasaran idiologis bertalian dengan seperangkat sistem eksternal atau sistem nilai yang diyakini bersama. Dalam hal ini, nuansa budaya pada pengertian sebagai suatu sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang dimiliki suatu kelompok yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial tempat mereka bernaung. Hal ini merupakan penjabaran dari pengaruh ideiologis terhadap organisasi.
Keempat sasaran-sasaran lain yang kurang begitu kuat. Penekanan sasaran ini akan menonjol pada suatu proses aktivitas organisasi yang tengah mempertahankan eksistensisny dalam situasi diluar kondisi biasa.
Dari pendapat Horton dan Hurt 1996 tentang  jenis sasaran sekolah diatas, mengisyaratkan suatu pola pandang berbeda dari pandangan umum tentang sekolah. Sebagai organisasi, sekolah bukan hanya sekedar tumpukan peran-peran struktural yang kaku, statis dan jalur kerja yang serba mekanistis belaka. Dari segi wujudnya, sekolah merupakan organisasi yang memiliki komponen-komponen dan memenuhi persyaratan sebagai sebuah organisasi formal. Dari beberapa kriteria organisasi, dapat dilihat manifestasi spesifik dalam lembaga sekolah. Pertama, seperti halnya suatu organisasi bisnis, sekolah memiliki tujuan kelembagaan yang jelas. Kedua, dalam organisasi sekolah terdapat pola jaringan kerja dari sejumlah posisi yang saling bertalian, seperti pendidik (guru), supervisor, dan administrator dalam rangka mencapai tujuan organisasi. 
Jelaslah bahwa sekolah sebagai lembaga atau institusi pendidikan merupakan organisasi sosial yang dibentuk dan bekerja secara birokratis. Namun, secara sosiologis, sekolah sebagai organisasi sosial di dalam pengolahannya tetap dipengaruhi kepribadian, sistem tata nilai yang berlaku dan dianut, kultural-ideologis, hubungan interpersonal, dan lain sebagainya.    











BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Sekolah sebagai organisasi adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri. Sekolah sebagai organisasi memiliki perbedaan dengan organisasi lainnya. Secara umum, yang membedakan segala organisasi dari organisasi yang lainnya tujuan yang ingin dicapai. Sekolah bertujuan menghasilkan individu-individu yang terdidik.
Analisis yang muncul seputar sekolah banyak mengupas konflik-konflik antar peranan yang terjadi di lembaga sekolah. Dari sini analisis yang bisa dijadikan untuk mengamati keberadaan sekolah sebagai lembaga formal dalam aktivitas pendidikannya terbagi menjadi dua persoalan yakni:
             1.     Konsep Tujuan Organisasi
Kompleksitas permasalahan dan pertentangan terjadi di sekolah merupakan derivasi dari perangkat-perangkat manusia yang memiliki beragam peran spesifik di lembaga sekolah. Salah satu faktor yang memberatkan kerja organisasi adalah gejala kesalahpahaman untuk memahami kawan sekerja berkenaan dengan hak dan kewajiban yang berbeda sesuai dengan status pekerjaannya.
             2.     Ketergantungan  Pendidik Dan Anak Didik
Sumber ketergantungan antar pendidik/guru dan anak didik berasal dari dualisme ketegangan peran pendidik di kelas. Sebagai seorang guru tanggung jawab moral sebagai pendidik yang erat dengan kebijaksanaan akan menghalang-halangi penerapan sanksi kepada siswa tersebut.



[1] Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta : Rajagarafindo Persada, 2011),h.142
[2] Ibid.,
[3] Ibid.,
[4] Ibid.,
[5] Suharsaputra, Administrasi Pendidikan ( Bandung : Refika Aditama, 2013 ), h.26
[6] Ibid, h. 27
[7] Ibid.,
[8] Abdullah Idi, Loc. Cit
[9] Mahmud, Sosiologi Pendidikan, ( Bandung : Pustaka Setia, 2012 ), h.163
[10] Ibid.,
[11]Konsep diferensiasi (differentiation) berasal dari konsep diferensiasi sosial (social differentiation), suatu proses di mana suatu aktivitas/institusi menjadi terbagi dan lebih terspesialisasi ke dalam satu atau aktivitas kelembagaan yang lebih terpisah. Diferensiasi adalah suatu bentuk (term) berasal dari biologi untuk mendeskripsikan spesialisasi dari fungsi dalam suatu proses evolusi. Lihat: (David Jary & Julia Jary, Dictionary of  Sociology, The Harper Collins, USA, 1991,p. 450)
[12] Dikutip oleh Abdullah Idi, “Bahan Kuliah Sosiologi Pendidikan S1 & S2,” op.cit.,
[13] Omar Hamalik, perencanaan Pelajaran berdasarkan Pendekatan Sistem, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 23.
[14] Lihat:htt:/mrpams. Multiply. Com./journal/item15, diakses tanggal 15/10/2010).

0 komentar:

Posting Komentar

 
Islam Crescent Moon