BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Secara
sederhana, kajian sosiologi pendidikan bertalian dengan analisis ilmiah tentang
proses interaksi sosial yang terkait dengan aktivitas pendidikan, baik
dikeluarga, kehidupan sosio-kultural masyarakat maupun pada taraf objektif
tentang relasi sosial yang menyusun kontruksi total realitas pendidikan di
suatu negara.
Di
sini, kriteria sekolah sebagai salah satu wujud organisasi formal ditinjau dari
kaitan unsur-unsur sosial pendukungnya dalam proses mencapai tujuan pendidikan.
Jadi dalam hal ini sekolah dipandang sebagai sebuah pranata untuk memenuhi
kebutuhan khusus tertentu. Bisa juga “sekolah”diartikan sebagai sebuah
organisasi ,yaitu organiasi social yang mempunyai struktur tertentu yang
melibatkan sejumlah orang dengan tugas melaksanakan suatu fungsi untuk memenuhi
suatu kebutuhan. Melihat keberadaan sekolah begitu penting bagi
eksistensi dan keberlangsungan pendidikan, maka topik ini lebih memfokuskan
pada kajian sosiologi tentang sekolah sebagai organisasi.
B. Rumusan Masalah
1.
Mengapa sekolah dikategorikan
sebagai organisasi?
2.
Bagaimana persoalan yang
ada di sekolah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekolah: Organisasi
1.
Pengertian Sekolah
Kata sekolah berasal dari bahasa latin, yakni skhole, scolae, skhoe
atau skhola yang memiliki arti waktu
luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan diwaktu
luang bagi anak-anak ditengah kegiatan mereka, yakni bermain dan menghabiskan
waktu menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang adalah
mempelajari cara berhitung, secara membaca huruf dan mengenal tentang moral
(budi pekerti) dan estetika (seni). Untuk mendampingi dalam kegiatan scola anak-anak didampingi oleh orang
ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memeberikan
kesempatan-kesempatan yang sebebsar-besarnya kepada anak untuk menciptakan
sendiri dunianya melalui berbagai pelajaran diatas.[1]
Kini, kata sekolah dikatakan
sunarto (1993), telah berubah berupa bangunan atau lembaga untuk belajar dan
serta tempat memberi dan menerima pelajaran. Sekolah dipimpin oleh seorang
kepala sekolah, dan kepala sekolah dibantu oleh wakil kepala sekolah, jumlah
kepala sekolah bisa berbeda pada tiap sekolahanya, tergantung dengan kebutuhan.
Bangunan sekolah disusun meninggi untuk memenfaatkan tanah yang tersedia dan
dapat diisi dengna fasilitas yang lain. Ketersidiaan sarana pada suatu sekolah
memiliki peranan penting dalam terlaksanakan proses pendidikan.[2]
Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang un tuk pengajaran siswa atau
murid di bawah pengawasan pendidik (guru). sebagian besar negara memiliki
sistem pendidikan formal, yang umumnya wajib, dalam upaya menciptakan anak
didik agar mengalami kemajuan setelah melalui proses pembelajaran. Nama- nama
sekolah ini berfariasi menurut negara, tetapi umumnya termasuk sekolah dasar
untuk anak-anak muda dan sekolah menengah untuk remaja yang telah menyelesaikan
sekolah dasar.[3]
Ada pula sekolah non pemerintah, yang yang disebut sekolah swasta (private schools). Sekolah swasta
mungkin untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus ketika pemerintah tidak bisa
memberi sekolah khusus bagi mereka, keagamaan, seperti sekolah Islam (madrasah,
pesantren); sekolah kristen, sekolah katolik, sekolah Hindu, sekolah Buda atau
sekolah khusus lainya yang memeiliki standar lebih tinggi untuk mempersiapkan
prestrasi pribadi anak didik.[4]
2.
Pengertian Organisasi
Robert Presthus
dalam bukunya The Organizational Society (1962) menyatakan bahwa masyarakat
kita merupakan yang terdiri dari organisasi-organisasi.[5]
Pernyataan tersebut menunjukkan betapa organisasi telah menjadi fenomena yang
menonjol dalam kehidupan. Jadi organisasi merupakan kumpulan orang-orang yang
bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut Sondang P. Siagian organisasi adalah setiap bentuk persekutuan
antara dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk sesuatu tujuan bersama dan
terikat secara formal.[6]
Atmosudirdjo berpendapat bahwa organisasi adalah suatu bentuk kerja sama antara
sekelompok orang-orang berdasarkan suatu perjanjian untuk bekerja sama guna
mencapai tujuan yang tertentu.[7]
Dari pendapat para ahli di atas dapat kita simpulkan bahwa organisasi
adalah sekelompok orang yang memiliki visi dan misi sama yang saling berkaitan
yang tidak dapat diganggu gugat dengan yang lainnya, sehinnga organisasi itu
dapat berjalan dengan lancar dan sebagaimana mestinya.
3.
Sekolah Sebagai Organisasi
Sekolah sebagai organisasi adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh
masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi
sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara.
Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi
sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai
sendiri. Terbentuknya lembaga sosial berawal dari individu yang saling
membutuhkan kemudian timbul aturan-aturan yang dinamakan norma
kemasyarakatan. Lembaga sosial sering pula dinamakan pranata sosial.[8]
Philip Robinson (1981) menyebut sekolah sebagai organisasi yaitu unit sosial
yang secara sengaja dibentuk untuk tujuan-tujuan tertentu. Sekolah sengaja
diciptakan untuk tujuan tertentu, yaitu memudahkan pengajaran sejumlah
pengetahuan.[9]
Sekolah sebagai organisasi memiliki perbedaan dengan
organisasi lainnya, sebagai contoh dengan organisasi pabrik atau klub sepak
bola. Secara umum, yang membedakan segala organisasi dari organisasi yang
lainnya tujuan yang ingin dicapai. Sebuah pabrik sepatu dipastikan memiliki
tujuan menghasilkan barang-barang jadi berupa alas kaki, sedangkan sekolah
bertujuan menghasilkan individu-individu yang terdidik.[10]
Sekolah merupakan contoh organisasi formal, di mana pada 1957, Parsons
menulis, “Banyak pekerjaan yang harus
dilakukan sebelum kita memiliki sesuatu yang pantas diberi nama teori mengenai
organisasi formal”. Hal yang sama, dikemukakan Bidwell (1965) dan Davies
(1973), yang mengatakan meskipun sekolah merupakan benda yang sudah tidak asing
bagi kita dan college-college bagi
banyak orang, kemampuan kita untuk menjelaskan dan menggeneralisasikan cara
kerja dengan mendalam masih terkendala pada masalah kekurangan dalam analisis
organisasi itu sendiri dan kelangkaan telaah empiris dalam pendidikan.
Berlangsungnya terus ketiadaan suatu teori yang koheren dan dapat diterima
secara umum mengenai sekolahsebagai organisasi mungkin merupakan petunjuk bahwa
dalam hal ini kita hanya berhadapan dengan suatu khayalan sosiologis belaka.
Kompleksitas lembaga adalah sedemikian rupa sehingga tidak ada teori umum yang
dpat menggambarkan nuansa dan kekhasan lembaga-lembaga yang unik tanpa
menimbulkan kesan dangkal dan sepele. Yang telah dikembangkan adalah berbagai
cara memandang sekolah, perspektif yang menerangi beberapa aspek dan mengaburkan
aspek lainnya.
Lee R. Stainer (1960) dalam Abdullah Idi mengatakan bahwa sebuah
organisasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Formalitas, merupakan ciri
organisasi sosial yang menunjukkan kepada adanya perumusan tertulis.
b.
Hierarki, merupakan ciri organisasi
sosial yang menunjukkan pada suatu pola kekuasaan dan wewenang yang berbentuk
piramida.
c.
Besarnya dan kompleksnya,
dimana organisasi sosial memiliki banyak anggota sehingga hubungan sosial antar
anggota bersifat tidak langsung (impersonal).
d.
Lamanya (duration),
menunjukkan pada diri bahwa eksistensi suatu organisasi lebih lama dari pada
keanggotaan orang-orang dalam organisasi itu.
Jelas, dari pendapat tentang ciri-ciri organisasi di atas, bahwa akan
mudah membedakan mana yang dikatakan organisasi dan mana yang bukan sebuah
organisasi. Ary Gunawan (2000) mengatakan bahwa sekelompok orang yang mendirikan
sebuah organisasi memiliki alasan-alasan (reason) mendirikan organisasi itu.
Seseorang memiliki alasan:
a.
Alasan sosial (social
reason)
b.
Alasan materi (materiil
reason)
Masih dalam lingkup sekolah sebagai organisasi formal, beberapa ahli
telah menyajikan pranata-pranata manajemen yang berbeda dalam menerapkan fungsi
manajemen di sekolah, diantaranya adalah:
a.
Manajemen ilmiah
Pokok-pokok manajemen ilmiah antara lain: menggunakan
alat ukur dan perbandingan yang jelas dan tepat,menganalisis dan membandingkan
proses yang telah dicapai, menerima hipotesis terkuat yang lulus dari
verifikasi serta menggunakannya sebagai kriteria tunggal.
b.
Sistem sosio-teknis
Sebagai sistem sosio-teknis sekolah mencakup banyak
hal yang menjadi input organisasi.
c.
Pendekatan sistem
Model pengelolaan yang paling banyak digunakan adalah
bentuk teori sistem. Ciri khas pendekatan ini adalah pengakuan adanya
bagian-bagian suatu sistem yang terkait erat pada keseluruhan.
d.
Pendekatan individual
Pendekatan individual mengakomodasi nilai-nilai
kemanusiaan dalam organisasi. Akan tetapi, pada perkembangannya pendekatan
individual memiliki dua kelompok yakni:
a.
Teori Pasif
b.
Teori Aktif
B. Sekitar Persoalan di Sekolah
Dalam hal ini, pengamatan
organisasi lebih ditekankan pada skala makronya. Analisis yang muncul seputar
sekolah banyak mengupas konflik-konflik antar peranan yang terjadi di lembaga
sekolah. Seperti yang diungkapkan Davies dalam Abdullah Idi (2010) bahwa
lembaga pendidikan sering dirasuki oleh nilai-nilai yang terkadang bertentangan
antar pihak baik dari para guru, orang tua, siswa, maupun pihak aparat pimpinan
sekolah. Dari sini analisis yang bisa dijadikan untuk mengamati keberadaan
sekolah sebagai lembaga formal dalam aktivitas pendidikannya terbagi menjadi
dua persoalan yakni:
1. Konsep Tujuan Organisasi
Sudah menjadi konsekuensi bagi setiap organisasi untuk menetapkan
tujuan lembaga. Berbeda pada organisasi umumnya, sekolah memiliki ciri khas
yang agak unik, khususnya dari objek yang menjadi tujuannya. Dengan menetapkan
posisi peran kelembagaan yang bertugas untuk membekali peserta didik
seperangkat pengetahuan dan keterampilan maka sekolah telah mengumandangkan
jenis tujuan yang bersifat abstrak.
Selain itu, dimensi abstrak yang menjadi titik tolak penafsiran para
praktisi sekolah dapat memunculkan hambatan besar untuk menyatukan pemahaman
makna tujuan pendidikan antarposisi. Berdasarkan struktur organisasi yang
terbentuk, guru bertugas sebagai pelaksana pengajar kepada siswa, supervisor
berfungsi membina para guru dan tugas formal administrasi sekolah ialah
mengkoordinasikan dan menentukan berbagai raga aktivitas dalam lingkungan
sekolah.
Masing-masing pemegang posisi mempunyai hak dan kewajiban tertantu
dalam hubungan dengan posisi lain. Selain objek tujuan yang sarat nilai,
posisi-posisi peran yang cukup kompleks di lingkup internal, maka sebuah
sekolah akan berharap langsung dengan komponen nilai-nilai lain di luar
lingkungannya. Spesifikasi tujuan yang telah ditetapkan oleh sekolah ternyata
harus bersinggungan erat dengan alokasi peran pendidikan di luar sekolah,
terutama keluarga.
Kompleksitas permasalahan dan pertentangan terjadi di sekolah
merupakan derivasi dari perangkat-perangkat manusia yang memiliki beragam peran
spesifik di lembaga sekolah. Kenyataan membuktikan, salah satu faktor yang
memberatkan kerja organisasi adalah gejala kesalahpahaman untuk memahami kawan
sekerja berkenaan dengan hak dan kewajiban yang berbeda sesuai dengan status
pekerjaannya. Kecenderungan yang terjadi, hampir semua tanggung jawab dan tugas
sekolah berhubungan dengan siswa selalu dilimpahkan kepada seorang pendidik.
Sedangkan pemberian fungsi-fungsi peran yang berbeda baik dari aspek bimbingan
konseling, pelayanan birokrasi dan keuangan, serta peran penegak ketertiban dan
kedisiplinan tidak pernah tersiar secara utuh kepada para siswa.
Dalam analisis sosiologi, konflik peranan di lingkup internal sekolah
disebabkan pada rangkaian hak dan kewajiban yang memengaruhi harapan para
pemegang status pekerjaan. Dalam waktu yang sama kepala sekolah mengharapkan
para guru selalu tertib dalam melaksanakan pengajaran. Sementara guru sendiri
selalu berkeinginan memberikan ragam materi yang selengkap-lengkapnya kepada
para siswa. Hal ini tentu bertentangan dengan asumsi umum para siswa yang
jelas-jelas berharap agar para guru tidak terlalu banyak menyodorkan materi
yang harus mereka hafalkan. Hal tersebut tentunya semakin menjauhkan kesadaran
warga sekolah mengenai hakikat mendasar dari fungsi sekolah sebagai lembaga
pendidikan.
Dapat dijelaskan pula tentang kelas sebagai suatu sistem sosial. Pada
dasarnya, proses-proses pendidikan yang sesungguhnya adalah interaksi kegiatan
yang berlangsung di ruang kelas. Untuk keperluan tersebut pembahasan mengenai
kegiatan kelas menempati subtopik
tersendiri dalam susunan kajian topik ini. Dari sudut sosiologi beberapa
pendekatan telah digunakan sebagai alat analisis untuk mengamati proses-proses
yang terjadi di ruang kelas. Di mulai dari pengamatan Parsons yang
mengetengahkan argumentasi ilmiahnya tentang kelas sebagai suatu system social. Berkaitan dengan fungsi
sekolah maka kelas merupakan kepanjangan dari proses sosialisasi anak di
lingkungan keluarga maupun masyarakat. Kiprah interaksi di kelas secara khusus
berusaha untuk memantapkan penanaman nilai-nilai dari masyarakat.
Di sisi lain, pendekatan interaksionis cenderung menekankan analisis
sosio-psikologis untuk melihat ruang kelas. Sejumlah tokoh seperti Delamont,
Lewwin, Lippit, White dan H.H Anderson adalah figur-figur yang mengeksplorasi
aspek interaksi antarguru dan murid. Selaras dengan hal tersebut, White Hall
(1949), yang memanfaatkan karya-karya pendahulunya mencobamenemukan pengaruh
situasi sosial emosional dalam ruang kelas. Ia membedakan antara metode
pengajaran yang cenderung teacher-center
dengan tipologi pembelajaran learner-center
dengan beranggapan bahwa tipe yang kedua merupakan cara yang paling efektif
untuk kegiatan pembelajaran di kelas.
Dalam satu rangkaian penelitian Flanders (1967) memperkuat studi
tentang interaksi di kelas. Menurut pendapatnya, semakin besar ketergantungan
murid kepada guru, semakin kurang siswa tersebut mengembangkan
strategi-strategi belajarnya sendiri. Inti dari penerapan analisis interaksi
adalah menganalisis seluruh proses interaksi edukatif di kelas dan
pengaruh-pengaruh psikologinya kepada para siswa. Hal ini terkait erat dengan
metode pendekatan yang diterapkan oleh guru dalam mengelola pembelajaran di
kelas. Model pendekatan interpretatif juga bermanfaat untuk menangkap segala
hal yang berpola di dalam aktivitas ruang kelas. Yang termasuk hasil penelitian
di lingkup kategori interpretatif adalah analisis Waller.
Bagi Waller, pendidikan merupakan seni menanamkan definisi-definisi
situasi yang berlaku pada kaum muda dan sudah diterima oleh golongan
penyelenggara. Dengan demikian, sekolah merupakan satu alat ampuh untuk
melakukan kontrol sosial. Inti dari studi tersebut mencoba menerangkan tentang
fungsi sekolah yang memengaruhi kesadaran para siswa untuk selalu konsekuen
mengamalkan kriteria penafsiran nilai yang ditekankan oleh sekolah.
Analisis lain
juga mengungkap bahwa sumber ketergantungan antar pendidik/guru dan anak didik
berasal dari dualisme ketegangan peran pendidik di kelas. Sebagai bawahan
kepala sekolah, seorang guru harus menerapkan ketentuan administratif sekolah
secara ketat kepada murid-murid, namun di lain pihak tanggung jawab moral
sebagai pendidik yang erat dengan kebijaksanaan akan menghalang-halangi
penerapan sanksi kepada siswa tersebut. Sebagai sistem sosial tentunya di dalam
kelas telah membentuk konfigurasi sosial di dunia pergaulan anak didik . Dari
sini tampak bahwa konsep diferensiasi (differentiation)[11]
mengacu pada organisasi penentuan penghuni
kelas berdasarkan prestasi anak didik. Tentunya dari implikasi dari
pengelompokan ini berakibat terbentuknya polarisasi
antar kelompok, baik itu kelompok si kaya, si bodoh, si pandai, si pemalu.
Apabila pendidik mengetahui fakta tersebut dan mampu mengelola interaksi antar
kelompok maka proses penangkapan pengetahuan semakin dinamis semakin kaya.
Sebaliknya apabial pendidik cenderung masa bodoh dengan keadaan demikian justru
semakin mempertegas potensi desentraligasi antara anak didik.
Lingkungan
eksternal sekolah, dapat di jelaskan bahwa sekolah bernaung dalam suatu wilayah
eksternal yang dihuni oleh kumpulan manusia yang bernama masyarakat. Gejala timbal balik dari sekolah kepada
masyarakat maupun sebaliknya sebagai realitas kesehariaan yang akan selalu
terjadi. Keberadaan sekolah di lingkunagan masyarakat kota akan jelas
mempengaruhi orientasi pendidik tersebut dibanding sekolah yang terletak
digunung. Baik dari segi kuantitas peserta didik, maupun kompleksitas kegiatan
yang terjadwal pada kegiatan-kegiatan akademik di sekolah.
Kontribusi
selanjutnya adalah benturan konflik antar peran pendidikan dengan posisi lain
di masyarakat. Getzel dan Guba[12] menemukan bahwa banyak harapan
yang terkait dengan posisi pendidik (guru), pada kenyataannya telah berbenturan
dengan harapan posisi lain di luar sekolah. Dampak dari konflik ini terkadang
mengganggu stabilitas individu atau bisa jadi meluas pada segi-segi materiil di
lingkungan sekolah.
Pada masyarakat
modern, kehidupan manusia tidak pernah lepas dari pergulatan aktivitasnya
dengan organisasi. Secara historis, keberadaan organisasi merupakan cerminan
tingkat kemajuaan masyarakat yang sudah tinggi. Masyarakat modern memanfaatkan
fungsi lembaga-lembaga sosialnya dengan pola hubungan dan orientasi sistem
jaringan kerja yang sistematis, termekanisasi dalam pola-pola kegiatan yang
formal, inpersonal, terstuktur dan rasional. Karena itu, dalam kehidupan sehari-hari,
kita terlepas dari organisasi.
Sebagai
organisasi sosial, sekolah menggunakan prinsip-prinsip birokrasi dalam melayani
kerja dan agenda-agenda aktivitasnya. Organisasi formal (termasuk sekolah)
menggunakan sebuah pola hubungan yang bersifat rasional untuk menggerakkan roda
organisasi, diman sistem jabatan ini
dinamakan birokrasi yang berarti pengaturan atau pemerintahan oleh pejabat.
Sekolah sebagai
organisasi sekaligus lembaga pendidikan di Indonesia dapat diklasifikasikan
menjadi dud kelompok: sekolah dan luar sekolah. Pembagian jenis sekolah,
seperti diungkapakan Omar Hamalik (2005) lebih rinci dibagi menjadi tiga
bentuk: informal, formal, dan non formal. Ketiga klsifikasi dalam
pergumulannya dimasyarakat memilik peran
yang berbeda-beda. Lembagga pendidikan pertama, yakni keyakinan dan norma.
Lembaga pendidikan kedua, yakni formal (sekolah) lebih diarahkan pada
pengembanga intelektual anak didik. Lembaga ketiga, yakni informal
(masyarakat), perannya lebih banyak pada pembentukan karakter sosial.[13]
Sebagai lembaga
pendidikan, sekolah sebagai organisasi sosial dalam sosiologi, peran dan
fungsisnya sebagai berikut: a) fungsi
menifestasi pendidikan: membantu orang mencari nafkah; menolong
mengembangkan potensinya demi pemenuhan hidunya; (b) fungsi laten lembaga pendidikan, dimana
fungsi ini bertalian dengan fungsi lembaga pendidikan secara tersembunyi yakni
melahirkan atau menciptakan kedewasaan anak didik. Atau, fungsi pendidikan yan
bertalian dengan fungsi yang nyata (manifest),
yakni mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencarai nafakah; mengembangkan
bakat; mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan kepentingan
masyarakat; melestarikan kebudayaan; menanamkan keterampilan yan perlu
partisipasi dalam demokrasi. Sedangkan, fungsi latent lembaga pendidikan adalah: (1) menguranagi pengendalian
orang tua melalui pendidikan sekolah, dimana orang tua melimpahkan tugas
wewenangnya dalam mendidik anak dalam sekoalah; (2) menyediakan sarana untuk
pembangkangan dimasyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya perbedaan pandangan
antara sekolah dan masyarakat tentang suatu hal, misalnya pendidikan seks dan
sikap terbuka; (3) mempertahankan sistem kelas sosial, dimana pendidikan
sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada anak didik untuk menerima
perbedaan, dan status yang ada dimasyarakat.[14]
Dikatakan
Harton dan Hurt (1996), bahwa ada empat jenis sasaran organisasi sekolah. Tiap
sasaran meliputi titik tolak pandangan terhadap organisasi sekolah. Dari empat
pandangan itu, diharapkan dapat memahami tentang kompleksitas organisasi
sekolah.
Pertama,
sasaran formal
dimana ruang lingkup ini meliputi tujuan formal dari suatu organisasi. Sekolah
sebagai lembaga pendidikan sudah mestinya mempunyai organisasi yang baik agar
tujuannya tercapai.
Kedua,
sasaran
informal, di man tidak sepenuhnya bekerja sesuai denag ketentuan formal. Dalam
banyak hal, lebih dimodifikasi oleh tiap anggotanya sesuai dengan kapasitas
pemaknaan kesadaran mereka tentang organisasi.
Ketiga, sasaran idiologis. Seperti
tersirat dalam istilah tersebut, sasaran idiologis bertalian dengan seperangkat
sistem eksternal atau sistem nilai yang diyakini bersama. Dalam hal ini, nuansa
budaya pada pengertian sebagai suatu sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang
dimiliki suatu kelompok yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi
masyarakat itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial
tempat mereka bernaung. Hal ini merupakan penjabaran dari pengaruh ideiologis
terhadap organisasi.
Keempat sasaran-sasaran lain yang kurang
begitu kuat. Penekanan sasaran ini akan menonjol pada suatu proses aktivitas
organisasi yang tengah mempertahankan eksistensisny dalam situasi diluar
kondisi biasa.
Dari pendapat
Horton dan Hurt 1996 tentang jenis
sasaran sekolah diatas, mengisyaratkan suatu pola pandang berbeda dari
pandangan umum tentang sekolah. Sebagai organisasi, sekolah bukan hanya sekedar
tumpukan peran-peran struktural yang kaku, statis dan jalur kerja yang serba
mekanistis belaka. Dari segi wujudnya, sekolah merupakan organisasi yang
memiliki komponen-komponen dan memenuhi persyaratan sebagai sebuah organisasi
formal. Dari beberapa kriteria organisasi, dapat dilihat manifestasi spesifik
dalam lembaga sekolah. Pertama,
seperti halnya suatu organisasi bisnis, sekolah memiliki tujuan kelembagaan
yang jelas. Kedua, dalam organisasi
sekolah terdapat pola jaringan kerja dari sejumlah posisi yang saling
bertalian, seperti pendidik (guru), supervisor, dan administrator dalam rangka
mencapai tujuan organisasi.
Jelaslah bahwa
sekolah sebagai lembaga atau institusi pendidikan merupakan organisasi sosial
yang dibentuk dan bekerja secara birokratis. Namun, secara sosiologis, sekolah
sebagai organisasi sosial di dalam pengolahannya tetap dipengaruhi kepribadian,
sistem tata nilai yang berlaku dan dianut, kultural-ideologis, hubungan
interpersonal, dan lain sebagainya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sekolah sebagai
organisasi adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana
partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk
yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri. Sekolah
sebagai organisasi memiliki perbedaan dengan organisasi lainnya. Secara umum,
yang membedakan segala organisasi dari organisasi yang lainnya tujuan yang
ingin dicapai. Sekolah bertujuan menghasilkan individu-individu yang terdidik.
Analisis yang
muncul seputar sekolah banyak mengupas konflik-konflik antar peranan yang
terjadi di lembaga sekolah. Dari sini analisis yang bisa dijadikan untuk
mengamati keberadaan sekolah sebagai lembaga formal dalam aktivitas
pendidikannya terbagi menjadi dua persoalan yakni:
1. Konsep Tujuan Organisasi
Kompleksitas permasalahan dan
pertentangan terjadi di sekolah merupakan derivasi dari perangkat-perangkat
manusia yang memiliki beragam peran spesifik di lembaga sekolah. Salah satu
faktor yang memberatkan kerja organisasi adalah gejala kesalahpahaman untuk
memahami kawan sekerja berkenaan dengan hak dan kewajiban yang berbeda sesuai
dengan status pekerjaannya.
2. Ketergantungan Pendidik Dan Anak Didik
Sumber ketergantungan
antar pendidik/guru dan anak didik berasal dari dualisme ketegangan peran
pendidik di kelas. Sebagai seorang guru tanggung jawab moral sebagai pendidik
yang erat dengan kebijaksanaan akan menghalang-halangi penerapan sanksi kepada
siswa tersebut.
[1] Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta : Rajagarafindo
Persada, 2011),h.142
[5] Suharsaputra, Administrasi Pendidikan ( Bandung
: Refika Aditama, 2013 ), h.26
[8] Abdullah Idi, Loc. Cit
[9] Mahmud, Sosiologi Pendidikan, ( Bandung :
Pustaka Setia, 2012 ), h.163
[11]Konsep diferensiasi
(differentiation) berasal dari konsep diferensiasi sosial (social
differentiation), suatu proses di mana suatu aktivitas/institusi menjadi
terbagi dan lebih terspesialisasi ke dalam satu atau aktivitas kelembagaan yang
lebih terpisah. Diferensiasi adalah suatu bentuk (term) berasal dari biologi
untuk mendeskripsikan spesialisasi dari fungsi dalam suatu proses evolusi.
Lihat: (David Jary & Julia Jary, Dictionary
of Sociology, The Harper Collins,
USA, 1991,p. 450)
[12] Dikutip oleh Abdullah Idi,
“Bahan Kuliah Sosiologi Pendidikan S1
& S2,” op.cit.,
[13] Omar Hamalik, perencanaan Pelajaran berdasarkan Pendekatan
Sistem, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 23.
[14] Lihat:htt:/mrpams. Multiply. Com./journal/item15,
diakses tanggal 15/10/2010).
0 komentar:
Posting Komentar