Integrasi IQ, EQ, dan SQ Dalam Diri
Manusia
A.
Pengertian IQ, EQ dan SQ
1.
Pengertian IQ (Intelligence Quotient)
Para ilmuan sosial berdebat
tentang apa sebenarnya yang membentuk IQ seseorang. Mereka mengungkapkan bahwa
IQ dapat diukur dengan menggunakan uji kecerdasan standar, misalnya Wichsler
Intellegence Scales yang mengukur, baik kemampuan verbal maupun nonverbal,
termasuk ingatan, perbendaharaan kata, wawasan, pemecahan masalah, abstraksi
logika, persepsi, pengolahan informasi, dan ketrampilan motorik visual. “faktor
intelegensia umum” yang diturunkan dari skala ini yang disebut IQ dianggp
sangat stabil sesudah anak berusia enam tahun dan biasanya berkolerasi dengan
uji bakat seperti ujian masuk perguruan tinggi.[1]
IQ ialah
istilah kecerdasan manusia dalam kemampuan untuk menalar, perencanaan sesuatu,
kemampuan memecahkan masalah, belajar, memahaman gagasan, berfikir, penggunaan
bahasa dan lainnya. Anggapan awal bahwa IQ adalah kemampuan bawaan lahir yang
mutlak dan tak dapat berubah adalah salah, karena penelitian modern membuktikan
bahwa kemampuan IQ dapat meningkat dari proses belajar.
IQ ( Intelligent Quotient) merupakan tingkat kecerdasan manusia yang
ditinjau dari kecerdasan intelektual, berupa kemampuan intelektual, analisa,
logika dan rasio. Ia merupakan kecerdasan untuk menerima, menyimpan dan
mengolah infomasi menjadi fakta. Orang yang kecerdasan intelektualnya baik,
baginya tidak ada informasi yang sulit, semuanya dapat disimpan dan diolah,
pada waktu yang tepat dan pada saat dibutuhkan diolah dan diinformasikan
kembali. Proses menerima , menyimpan, dan mengolah kembali informasi, baik informasi yang didapat
lewat pendengaran, penglihatan atau penciuman, biasa disebut berfikir.
2.
Pengertian EQ (Emotional Quotient)
EQ adalah
kemampuan pengendalian diri sendiri,semangat, dan ketekunan, serta kemampuan
untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan
untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan,
mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan
berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk
memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan
konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya.
Menurut
Lawrence, kecerdasan emosional anak dapat dilihat pada : keuletan, optimisme,
motivasi diri, dan antusiasme. Lebih lanjut Lawrence mengemukakan kecerdasan
emosional (EQ) pengukurannya bukan didasarkan pada kepintaran seseorang anak,
tetapi melalui sesuatu yang dengan karakteristik pribadi “karakter”. [2]
Substansi dari kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami
untuk kemudian disikapi secara manusiawi. Orang yang EQ-nya baik, dapat
memahami perasaan orang lain, dapat membaca yang tersurat dan yang tersirat,
dapat menangkap bahasa verbal dan non verbal. Semua pemahaman tersebut akan
menuntunnya agar bersikap sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungannya,
dapat dimengerti kenapa orang yang EQ-nya baik, sekaligus kehidupan sosialnya
juga baik.
3.
Pengertian SQ (Spiritual Quotient)
Kecerdasan spiritual
(SQ), merupakan temuan terkini secara ilmiah, yang pertama kali digagas oleh
Danah Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford
University melalui riset yang komprehensif[3]. Mereka mendefinisikan
kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau
value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks
makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau
jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
SQ adalah landasan
yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Sedangkan dalam
ESQ kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual
terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ dan
SQ secara komprehensif.[4] Dapat juga dikatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk
memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-
langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah dalam upaya menggapai kualitas hanif
dan ikhlas. SQ adalah suara hati Ilahiyah yang memotivasi seseorang untuk berbuat atau
tidak berbuat .
B.
Perbedaan antara IQ, EQ dan SQ
Pakar EQ, Goleman
berpendapat bahwa meningkatkan kualitas kecerdasan emosi sangat berbeda dengan
IQ . IQ umumnya tidak berubah selama kita hidup. Sementara kemampuan yang murni
kognitif relatif tidak berubah (IQ), maka kecakapan emosi dapat dipelajari
kapan saja. Tidak peduli orang itu peka atau tidak, pemalu, pemarah atau sulit
bergaul dengan orang lain sekalipun, dengan motivasi dan usaha yang benar, kita
dapat mempelajari dan menguasai kecakapan emosi tersebut.[5] Seorang psikolog dari
Yale, Robert Stenberg seorang ahli dalam bidang succesfull intellegence mengatakan: “bila IQ yang berkuasa, ini karena
kita membiarkannya berbuat demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa, kita
telah memilih penguasa yang buruk.[6]
Sebuah sistem terpadu
dan sistematis untuk mensinergikan tiga landasan kecerdasan dalam satu sistem
sekaligus, yaitu IQ, EQ dan SQ. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang terpadu
dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Menurut kacamata ESQ, ketiga komponen ini
merupakan sebuah metode paripurna untuk membangun tiga dimensi kecerdasan
manusia sekaligus.
C.
Eksistensi IQ, EQ dan SQ pada setiap individu dan kapasitasnya
Dalam kamus bahasa
Indonesia, eksistensi diartikan sebagai keberadaan. Artinya, eksistensi
menjelaskan tentang penilaian ada atau tidak adanya pengaruh terhadap
keberadaan seseorang tersebut. Apabila orang lain menganggap kita mempunyai
sebuah eksistensi, maka keberadaan kita sudah dianggap dan dapat diperhitungkan
oleh orang-orang di sekeliling kita. Eksistensi biasanya dijadikan sebagai
acuan pembuktian diri bahwa kegiatan atau pekerjaan yang diakukan seseorang
dapat berguna dan mendapat nilai yang baik di mata orang lain.
1.
Eksistensi IQ
IQ atau daya tangkap
seseorang mulai muncul dapat ditentukan sekitar umur 3 tahun. Daya tangkap
sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic) yang dibawanya dari keluarga
ayah dan ibu di samping faktor gizi makanan yang cukup. Perkembangan taraf intelegensi
sangat pesat pada masa umur balita dan mulai menetap pada akhir masa remaja.
Taraf intelegensi tidak mengalami penurunan,yang menurun hanya penerapannya
saja terutama setelah berumur 65 tahun keatas bagi mereka yang alat inderanya
mengalami kerusakan.[7]
Inti kecerdasan intelektual ialah aktifitas otak. Otak
adalah organ luar biasa dalam diri kita. Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau
kurang lebih 5 % dari total berat badan kita. Namun demikian, benda kecil ini
mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh cadangan kalori yang tersimpan di
dalam tubuh.Otak memiliki 10 sampai 15 triliun sel saraf dan masing-masing sel
saraf mempunyai ribuan sambungan. Otak satu-satunya organ yang terus berkembang
sepanjang itu terus diaktifkan. Kapasitas memori otak yang sebanyak itu hanya
digunakan sekitar 4-5 % dan untuk orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai
sekarang para ilmuan belum memahami penggunaan sisa memori sekitar 94 %.
Para ahli di sebuah
penelitian ilmiah di Amerika Serikat yang mengatakan bahwa memang telah terjadi
kekeliruan dalam memahami IQ. Para ahli tersebut melihat kesamaan persepsi yang
menggejala hampir di semua belahan dunia kecenderungan untuk terlalu
mengagung-agungkan IQ. [8]
2.
Eksistensi EQ
Eksistensi EQ yang dulu
belum mampu dilihat oleh orang-orang kebanyakan, kini dinilai patut
disejajarkan bahkan berada di atas IQ karena keberadaannya yang mutlak
diperlukan[9]. Betapa
masih rendah kesadaran dan apresiasi tentng pentingnya kecerdasan emosi yang
mampu mengalirkan sikap-sikap: integritas, komitmen, visi serta kemandirian
yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh para pemberi kerja atau mahasiswa[10].
Berkembang bersamaan
dengan sejarah manusia itu sendiri; kebutuhan untuk mengatasi, beradaptasi dan
bergaul dengan manusia lain yang penting. Artinya bagi kelangsungan hidup
generasi pemburu-pengumpul di zaman purba. Otak manusia mencerminkan fakta yang
tak terbantahkan ini. Teknik pemetaan yang canggih baru-baru ini, memastikan
bahwa banyak proses berfikir halus melalui pesat emosi otak saat mengalami
proses fisiologi yang mengubah informasi dari luar menjadi tindakan atau
tanggapan individu.[11]
Kecerdasan emosi dapat
diartikan sebagai suatu kemampuan untuk memahami perasaan diri
masing-masing dan perasaan orang lain serta kemampuan untuk memotivasi diri
sendiri dan menata dengan baik emosi-emosi yang muncul dalam dirinya ketika
berhubungan dengan orang lain. Apapun yang kita dengar, lihat atau baca akan
berhubungan dengan emosi lebih dahulu sebelum tindakan dilakukan. Bahkan, untuk
berhasil memecahkan soal matematika sekalipun harus menghubungi perasaan
terlebih dahulu.[12]
3.
Eksistensi SQ
Kecerdasan spiritual ini adalah kecerdasan yang
mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan
dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini.
Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber-SQ
tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada
setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi
makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan
dan tindakan yang positif.
Sebuah penggabungan
atau sinergi antara rasionalitas dunia (EQ dan IQ) dan kepentingan spiritual
(SQ). Hasilnya adalah kebahagiaan dan kedamaian, sekaligus etos kerja yang
tinggi tak terbatas[13].
D.
Hubungan Antara Aspek-Aspek Kognisi, Emosi dan Konasi dengan IQ, EQ dan
SQ
Ada hubungannya antara aspek kognisi
dengan IQ, yaitu kognisi dalam kamus bahasa Indonesia dapat dartikan pengamatan pemikiran,
pencapaian pengetahuan tentang sesuatu. Proses yang dilakukan adalah memperoleh pengetahuan
dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis,
memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau
kemampuan kognisi biasa diartikan sebagai kecerdasan atau inteligensi.
Emosi adalah persepsi perubahan jasmaniah yang terjadi
dalam memberi tanggapan (respon) terhadap suatu peristiwa. Definisi ini
bermaksud menjelaskan bahwa pengalaman emosi merupakan persepsi dari reaksi
terhadap situasi.[14]
Kecerdasan emosional (EQ) merupakan kemampuan seperti kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan
dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan
menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan
berdoa.[15]
Konasi
(kemauan) adalah bereaksi, berbuat, berusaha, berkemauan dan berkehendak. Aspek
konasi kepribadian ditandai tingkah laku yang bertujuan dan impus untuk
berbuat. Nafsu menunjukan struktur di bawah sadar dari kepribadian manusia.[16] Konasi
merupakan salah satu fungsi hidup kejiwaan manusia, dapat diartikan sebagai
aktivitas psikis yang mengandung usaha aktif dan berhubungan dengan pelaksanaan
suatu tujuan. Dan terbagi atas : Dorongan, keinginan, hasrat, kecenderungan, hawa nafsu, kemauan. SQ merupakan tingkat kecerdasan manusia yang
ditinjau dari kecerdasan spiritual berupa kecerdasan untuk menghadapi persoalan
makna atau value, yakni kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam
konteks makna yang lebih luas.
E.
Mengaplikasikan Konsep IQ, EQ dan SQ Dalam Proses Pembelajaran
Aplikasi konsep
IQ, EQ, dan SQ dalam pembelajaran harus diakui bahwa IQ, EQ dan SQ adalah
perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling berkaitan di
dalam diri kita, sehingga tak mungkin dapat di pisah-pisahkan fungsinya.
Berhubungan dengan pembelajaran tetap membutuhkan otak dan keyakinan sama
halnya dengan keyakinan yang tetap membutuhkan otak dan perasaan.
Dalam proses
pembelajaran diperlukan sebuah pendekatan yang mampu memahami karakteristik
peserta didik sehingga lingkungan sekolah benar-benar dapat memberi kesempatan
bagi pengembangan potensi peserta didik agar mencapai titik maksimal. Hal ini
sesuai dengan pendapat beberapa pakar yang menyatakan bahwa jenis strategi
pembelajaran tertentu memerlukan gaya belajar tertentu.[17]
Upaya untuk
mengintegrasikan ketiga potensi kecerdasan tersebut melalui proses pembelajaran
tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan setiap peserta didik memiliki kekhasan
berbeda-beda. Latar belakang ekonomi, lingkungan sosial, bakat, minat,
pengetahuan serta motivasi antara satu murid dengan murid yang lain tidaklah
selalu sama. Oleh karena itu SQ merupakan landasan yang diperlukan untuk
memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. SQ diperlukan untuk memberikan makna
spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan secara komprehensif.
Dalam
pembelajaran diperlukan juga kreatifitas dan inovasi dari pendidik agar proses
pembelajaran tidak menjenuhkan yang tentu saja akan berpengaruh pada prestasi
peserta didik tetapi menyenangkan (EQ), bermakna (SQ), dan menantang atau
problematis (IQ). Dengan pembelajaran seperti ini diharapkan tercipta
manusia-manusia pembelajar yang selalu tertantang untuk belajar IQ, SQ dan EQ,
serta selalu memperbaiki kualitas diri-pribadi secara terus-menerus, hingga
pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri yang sesungguhnya.
Prinsip dalam
pembelajaran yaitu memiliki kebiasaan membaca buku dan membaca situasi dengan
cermat, selalu berpikir kritis dan mendalam, selalu mengevaluasi pemikirannya
kembali, bersikap terbuka untuk mengadakan penyempurnaan, memiliki pedoman yang
uat dalam belajar yaitu berpegang kepada Al-Qur’an.[18]
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi
Islam. Rajawali Press. Jakarta. 2001
Ary Ginanjar. Rahasia
Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ. Arga Wijaya Persada.
Jakarta. 2001
Hamzah B. Uno. Orientasi
Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Bumi Aksara. Jakarta Cet.4, 2010
Dwi Hayu
Lestari. Perbedaan IQ, EQ, SQ dan ESQ . http://dwihayulestari.blogspot.co.id/2014/02/perbedaan-iq-sq-eq-dan-esq.html. 02-3-2016
Fatchul anwar. Makalah
Ilmu Jiwa Belajar . http://sagitariusismyzodiak.blogspot.co.id/2013/03/makalah-ilmu-jiwa-belajar.html.
06 maret 2016
[1]Hamzah B. Uno, Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran,
Jakarta : Bumi Aksara, Cet.4, 2010, hlm.102
[2]Ibid, hlm.101
[3]Ary Ginanjar,Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi
dan Spiritual ESQ, Arga Wijaya Persada:Jakarta, 2001,hlm.44.
[4]Ibid,hlm.46-47.
[5] Daniel Goleman, Working With Emosional Intelligence, (New
York: Bantam Books, 1999),hlm.19.
[6] Damasio, Descarte’ Error: Emotion, Reason, and The
Human Brain, mengutip Robert K Cooper, PhD dan Ayman Sawaf, Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam
Kepemimpinan dan Organisasi, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1998), hal.14.
[7] Drs. A. A. Anwar Prabu Mangkunegara,
Perkembangan Intelegensi Anak Dan Pengukuran IQ-Nya, (Bandung: Angkasa,
1993),hlm. 48
[8]Ary Ginanjar,Op.Cit, hlm 40
[9]Ary Ginanjar, Op.Cit, hlm.39-40
[10]Ibid, hlm. 36
[11] Steven J. Stein, Ph.D, Howard E. Book, M.D, Ledakan EQ, hlm. 31
[12]Anthony de Mello, S.J., Awareness
Butir-butir Mutira Pencerahan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1999). Hlm.115
[13]Ary Ginanjar, Op.Cit, hlm. 47-48
[14]Hamzah B. Uno, Op.Cit, hlm.62
[15]Daniel Goleman, Emotional Intellegence, Kecerdasan Emosional, terjemahan T.
Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1997) hlm. 4
[16]Abdul Mujib, Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa
Psikologi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2001, hlm. 48
[17]Hamzah B. Uno, Op.Cit, hlm. 185
[18]Ary Ginanjar, Op.Cit, hlm. 201
BAGUS
BalasHapus