BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum yang mewajibkan warga
negaranya memilih satu dari 5 agama resmi di Indonesia. Namun kerukunan antar
umat beragama di Indonesia dinilai masih banyak menyisakan masalah. pemahaman masyarakat
tentang kerukunan atar umat beragama perlu ditinjau ulang. Dikarenakan
banyaknya ditemukan ketidakadanya kerukunan antar agama, yang menjadikan adanya
saling permusuhan, saling merasa ketidakadilan.
Islam Agama Rahmat bagi Seluruh Alam. Kata
islam berarti damai, selamat, sejahtera, penyerahan diri, taat dan patuh.
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa agama islam adalah agama yang mengandung
ajaran untuk menciptakan kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan hidup umat
manusia pada khususnya dan seluruh alam pada umumnya. Agama islam adalah agama
yang Allah turunkan sejak manusia pertama, Nabi pertama, yaitu Nabi Adam AS.
Agama itu kemudian Allah turunkan secara berkesinambungan kepada para Nabi dan
Rasul-rasul berikutnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Mengapa agama Islam disebut
sebagai Rahmatan lil ‘alamin ?
2.
Bagaimana penjelasan ulama
mu’tabar tentang Islam rahmatan lil ‘alamin ?
3.
Bagaimana pemahaman yang
salah menafsirkan dan pemahaman yang benar tentang Islam rahmatan lil ‘alamin
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Islam Rahmatan Lil
‘Alamin
Islam adalah
rahmat bagi semesta Alam. Islam diturunkan untuk membawa kebaikan, kedamaian dan keselamatan bagi
seluruh penduduk bumi. Agama Islam diturunkan oleh Allah SWT kepada Muhammad
SAW sebagai penyempurna agama-agama sebelumnya. Allah menjelaskan dalam Al
Quran, bahwasannya barang siapa yang mencari agama selain Islam, maka
sekali-kali tidak akan diterima agama tersebut, sebab segala kesempurnaan agama
telah ada pada Islam itu sendiri.
Islam adalah agama yang cinta damai dan memberi kebaikan atas segala
permasalahan di muka bumi. Islam memberi solusi, Islam memberi perubahan dan
kemuliaan atas kehidupan makhluk di muka bumi. Inilah yang menjadi alasan
mengapa Islam adalah rahmat bagi semesta alam.
Pernyataan bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan lil
‘alamin sebenarnya adalah kesimpulan dari firman Allah Ta’ala,
Artinya :
“Dan
Tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.” (Q.S Al-Anbiya: 107)
Nabi Muhammad saw. diutus dengan membawa ajaran Islam, maka Islam
adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh
manusia.
Beberapa fakta yang menjelaskan bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta alam
adalah sebagai berikut:
1. Manusia
diciptakan oleh Allah dimuka bumi salah satunya adalah sebagai khalifah yang
memakmurkan bumi. Melalui pengamalan ajaran agama Islam yang benar maka manusia
akan bijaksana dalam mengelola bumi, memanfaatkan bumi serta menjadi pemimpin
atas bumi dan segala isinya. Kesalahan dari tingkah laku manusia dalam
mengelola bumi dan alam semesta akan berdampak pada bencana yang disebabkan
oleh ulah tangan manusia itu sendiri. Inilah salah satu ajaran dalam Islam yang
jarang dipahami oleh ummat Islam itu sendiri.
2. Islam adalah
agama yang cinta damai, mengutamakan keadilan yang berujung pada kesejahteraan.
Inilah ajaran agama yang telah ditunaikan oleh Rasulullah dan juga pada masa
kekhalifahan, sehingga betul-betul terbukti Islam adalah rahmat bagi semesta
alam.
3. Islam
menjadi solusi atas segala persoalan makhluk di muka bumi. Islam adalah agama
yang komprehensif. Mengatur segala macam permasalahan kehidupan. Tak ada agama
yang sangat detail mengurusi semua permasalahan pemeluknya kecuali Islam. Islam
menjadi satu-satunya solusi bagi kehidupan.
B. Penjelasan
Ulama Mu’tabar Tentang Islam Rahmatan Lil ‘Alamin
Dalam konteks penggunaan istilah ini Ar-Raghib al-Ashfahani menguraikan bahwa
ar-rahmah kadang berkonotasi al-riqqah (kelembutan) atau
berkonotasi al-ihsân (kebajikan);atau al-khayr (kebaikan) dan an-ni’mah
(kenikmatan). Karena itu kata ini termasuk ke dalam lafal yang berserikat di
dalamnya lebih dari satu makna (lafzh musytarak). Pemaknaannya
ditentukan oleh indikasi lainnya.
Makna QS.
Al-Anbiya:107 diperjelas melalui
firman-Nya,
Artinya: “Dan kamu tidak pernah mengharap
agar Al Quran diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat
yang besar dari Tuhanmu[1],
sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir.”(Q.S
Al-Qashash: 86)
Lihat pula QS Al-’Ankabût (29) ayat 51.
Artinya: “Dan Apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah
menurunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) sedang Dia dibacakan kepada mereka?
Sesungguhnya dalam (Al Quran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi
orang-orang yang beriman.”
Keduanya memperjelas bahwa Tidaklah Allah mengutus Muhammad saw. kecuali
sebagai rahmat bagi ciptaan-Nya dengan semua yang terkandung dalam al-Qur’an
al-Karim ini,yakni kebaikan yang terkandung dalam ajaran-ajaran-Nya.
Para ulama mu’tabar pun menjelaskan ar-rahmat dalam ayat
tersebut berkaitan dengan penerapan syariah Islam kâffah dalam kehidupan
sebagai tuntutan akidah Islam yang diemban oleh Rasulullah saw.
Di antaranya
adalah ulama Nusantara yang mendunia, Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1316 H). Ia
menyatakan:
وماأرسلناك
ياأشرف الخلق بالشرائع، إلاّرحمةللعالمين أي إلاّلأجل رحمتناللعالمين قاطبة في
الدين والدنيا
Artinya:"Tidaklah
Kami mengutus engkau, wahai sebaik-baiknya makhluk, dengan membawa
ajaran-ajaran syariah-Nya, kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta, yakni agar
menjadi rahmat Kami bagi alam semesta seluruhnya; bagi agama ini dan kehidupan
dunia."
Imam ’Izzuddin bin ’Abdissalam (w. 660 H) menafsirkan kata rahmat[an]
dalam ayat ini sebagai hidâyat[an], yakni petunjuk, tentunya petunjuk
dari risalah Islam yang diemban Nabi saw. Sejalan dengan Imam al-Nasafi, Imam
al-Baidhawi pun menegaskan bahwa beliau menjadi rahmat karena diutus dengan apa
yang menjadi sebab kebahagiaan manusia dan kebaikan bagi kehidupan dunia dan tempat
kembalinya kelak. Imam Al-Zamakhsyari (w. 538 H) menjelaskan bahwa Allah
mengutus Rasulullah saw. sebagai rahmat bagi alam semesta karena ia datang
dengan apa-apa yang akan membuat mereka bahagia jika mengikutinya.
Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) pun menyatakan, rahmat tersebut mencakup
kehidupan agama dan dunia. Mencakup agama karena beliau turun menyeru manusia
ke jalan kebenaran dan pahala, mensyariatkan hukum-hukum dan membedakan antara
halal dan haram. Yang mengambil manfaat (hakiki) dari rahmat ini adalah siapa
saja yang kepentingannya mencari kebenaran semata, tidak bergantung pada taqlid
buta, angkuh dan takabur, berdasarkan indikasi dalil:
Artinya: Dan
Jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab,
tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?"
Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab?
Katakanlah: "Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin.
dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al
Quran itu suatu kegelapan bagi mereka[2].
mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh".
(QS. Fushshilat: 44)
Mencakup kehidupan dunia karena manusia terhindar dari banyak kehinaan dan
ditolong dengan keberkahan din-Nya ini. Inti penafsiran di atas kian
menjadi jelas ketika kita memerhatikan firman-Nya:
Artinya : (dan ingatlah) akan hari (ketika)
Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka
sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat
manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89)
Frasa tibyân[an] li kulli syay-[in] bermakna: apa saja yang
dibutuhkan oleh umat; mengetahui halal haram, pahala dan siksa, hukum-hukum
serta dalil-dalil. Ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh ath-Thabari, Imam
ats-Tsa’labi, Imam Abu Bakr al-Jazairi dan yang lainnya. Abu Bakar al-Jazairi
menjelaskan kedudukan al-Quran sebagai hud[an], yakni petunjuk dari
segala kesesatan; juga rahmat[an], yakni rahmat khususnya bagi mereka
yang mengamalkan dan menerapkan al-Quran bagi diri sendiri dan di dalam
kehidupan sehingga rahmat tersebut bersifat umum di antara mereka.
Tak samar kewajiban menegakkan syariah Islam kâffah (totalitas)
dalam QS al-Baqarah (2) ayat 208. Islam adalah rahmat bagi alam semesta dengan
ajaran-ajarannya. Islam adalah rahmat dengan syariah shaum (QS al-Baqarah [2]:
183). Islam pun rahmat (kebaikan hakiki) dengan keseluruhan syariahnya: syariah
qishash (QS al-Baqarah [2]: 178), syariah jihad (QS al-Baqarah [2]:
216). QS al-Anbiya’ [21]: 107) pun menjadi dalil kaidah syar’iyyah:
حَيْثُمَا
يَكُوْنُ الشَّرْعُ تَكُوْنُ الْمَصْلَحَةُ
Artinya: “Di mana pun tegak syariah maka akan ada kemaslahatan.”
Dengan demikian
penegakan seluruh ajaran Islam menjadi satu-kesatuan sistem kehidupan merupakan
kebaikan hakiki bagi seluruh sendi kehidupan.
Sebaliknya, banyak dalil al-Qur’an dan as-Sunnah yang mengecam orang yang
berpaling dari ajaran-Nya (QS Thaha [20]: 124) atau mengimani sebagian dan
mengkufuri sebagian lainnya dari ajaran-Nya (QS al-Baqarah [2]: 285).
Kedua sisi ini
tergambar pula dalam ayat ini:
Artinya:
“Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami
siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS.Al-A’raf: 96)
C.
Penafsiran Para
Ahli Tafsir
1. Ibnu Qayyim Al
Jauziyyah dalam Tafsir
Ibnul Qayyim:
Pendapat yang
lebih benar dalam menafsirkan ayat ini adalah bahwa rahmat disini bersifat
umum. Dalam masalah ini, terdapat dua penafsiran:
Pertama: Alam semesta secara umum mendapat manfaat dengan
diutusnya Nabi Muhammad saw. Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih
kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus.
Orang kafir
yang memerangi beliau, manfaat yang mereka dapatkan adalah disegerakannya
pembunuhan dan maut bagi mereka, itu lebih baik bagi mereka. Karena hidup
mereka hanya akan menambah kepedihan adzab kelak di akhirat. Kebinasaan telah
ditetapkan bagi mereka. Sehingga, dipercepatnya ajal lebih bermanfaat bagi
mereka daripada hidup menetap dalam kekafiran. Orang kafir yang terikat
perjanjian dengan beliau, manfaat bagi mereka adalah dibiarkan hidup didunia
dalam perlindungan dan perjanjian. Mereka ini lebih sedikit keburukannya
daripada orang kafir yang memerangi Nabi saw.
Orang munafik, yang menampakkan iman secara
zhahir saja, mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga
dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang
lain dalam hukum waris dan hukum yang lain. Dan pada umat manusia setelah
beliau diutus, Allah Ta’ala tidak memberikan adzab yang
menyeluruh dari umat manusia di bumi. Kesimpulannya, semua manusia mendapat
manfaat dari diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Kedua: Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang
yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di
akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya. Sehingga bagi orang kafir, Islam
tetap dikatakan rahmat bagi mereka, namun mereka enggan menerima. Sebagaimana
jika dikatakan ‘Ini adalah obat bagi si fulan yang sakit’. Andaikan fulan tidak
meminumnya, obat tersebut tetaplah dikatakan obat”
- Muhammad bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir:
“Makna ayat
alqur’an al-Anbiya’ ayat 107 adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad,
dengan membawa hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh
manusia tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang menjadi pengecualian’. Dengan
kata lain, ‘satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai Muhammad, adalah sebagai
rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu dengan membawa sesuatu yang menjadi
sebab kebahagiaan di akhirat’.
- Muhammad bin Jarir Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari:
“Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat ini, tentang apakah
seluruh manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh manusia baik mu’min
dan kafir? Ataukah hanya manusia mu’min saja? Sebagian ahli tafsir berpendapat,
yang dimaksud adalah seluruh manusia baik mu’min maupun kafir. Mereka
mendasarinya dengan riwayat dari Ibnu Abbas ra. dalam menafsirkan ayat ini:
من آمن بالله واليوم الآخر كتب له
الرحمة في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن بالله ورسوله عوفي مما أصاب الأمم من
الخسف والقذف
“Siapa saja
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia
dan akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat
terdahulu, seperti mereka semua di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar”
Dalam riwayat
yang lain:
تمت الرحمة لمن آمن به في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن
به عوفي مما أصاب الأمم قبل
“Rahmat yang
sempurna di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang beriman kepada Rasulullah.
Sedangkan bagi orang-orang yang enggan beriman, bentuk rahmat bagi mereka
adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu”
Pendapat ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang
beriman saja. Mereka membawakan riwayat dari Ibnu Zaid dalam menafsirkan ayat
ini:
فهو لهؤلاء فتنة ولهؤلاء رحمة , وقد
جاء الأمر مجملا رحمة للعالمين . والعالمون هاهنا: من آمن به وصدقه وأطاعه
“Dengan
diutusnya Rasulullah, ada manusia yang mendapat bencana, ada yang mendapat
rahmah, walaupun bentuk penyebutan dalam ayat ini sifatnya umum, yaitu sebagai
rahmat bagi seluruh manusia. Seluruh manusia yang dimaksud di sini adalah
orang-orang yang beriman kepada Rasulullah, membenarkannya dan menaatinya”
Pendapat yang benar dari dua pendapat ini adalah pendapat yang pertama, sebagaimana
riwayat Ibnu Abbas. Yaitu Allah mengutus Nabi Muhammad saw., sebagai rahmat
bagi seluruh manusia, baik mu’min maupun kafir. Rahmat bagi orang mu’min yaitu
Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah saw. Beliau memasukkan
orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran
Allah. Sedangkan rahmat bagi orang kafir, berupa tidak disegerakannya bencana
yang menimpa umat-umat terdahulu yang mengingkari ajaran Allah” (diterjemahkan
secara ringkas).
- Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi dalam Tafsir Al Qurthubi
“Said bin Jubair berkata: dari Ibnu Abbas, beliau
berkata:
كان محمد صلى الله عليه وسلم رحمة
لجميع الناس فمن آمن به وصدق به سعد , ومن لم يؤمن به سلم مما لحق الأمم من
الخسف والغرق
“Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah rahmat bagi seluruh manusia. Bagi yang
beriman dan membenarkan ajaran beliau, akan mendapat kebahagiaan. Bagi yang
tidak beriman kepada beliau, diselamatkan dari bencana yang menimpa umat
terdahulu berupa ditenggelamkan ke dalam bumi atau ditenggelamkan dengan air”
Ibnu Zaid
berkata:
أراد بالعالمين المؤمنين خاص
“Yang
dimaksud ‘seluruh manusia’ dalam ayat ini adalah hanya orang-orang yang beriman”
- Ash Shabuni dalam Shafwatut Tafasir
“Maksud ayat
ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat
bagi seluruh makhluk’. Sebagaimana dalam sebuah hadits:
إنما أنا رحمة مهداة
“Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah)” (HR.
Al Bukhari dalam Al ‘Ilal Al Kabir 369, Al Baihaqi dalam Syu’abul
Iman 2/596. Hadits ini di-shahih-kan Al Albani dalam Silsilah
Ash Shahihah, 490, juga dalam Shahih Al Jami’, 2345)
Orang yang menerima rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, ia akan
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Allah Ta’ala tidak mengatakan ‘rahmatan lilmu’minin‘,
namun mengatakan ‘rahmatan lil ‘alamin‘ karena Allah Ta’ala ingin
memberikan rahmat bagi seluruh makhluk-Nya dengan diutusnya
pemimpin para Nabi, Muhammad saw. Beliau diutus dengan membawa kebahagiaan
yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang besar.
Beliau menjadi sebab tercapainya berbagai kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau
memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan.
Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam
kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh
manusia. Bahkan orang-orang kafir mendapat manfaat dari rahmat ini,
yaitu ditundanya hukuman bagi mereka. Selain itu mereka pun tidak lagi ditimpa
azab berupa diubah menjadi binatang, atau dibenamkan ke bumi, atau
ditenggelamkan dengan air”
D. Pemahaman Yang Salah Kaprah
Permasalahan muncul ketika orang-orang menafsirkan ayat ini secara
serampangan, bermodal pemahaman bahasa dan logika yang dangkal. Atau berusaha
memaksakan makna ayat agar sesuai dengan hawa nafsunya. Diantaranya pemahaman
tersebut adalah:
- Berkasih sayang dengan orang kafir
Sebagian orang
mengajak untuk berkasih sayang kepada orang kafir, tidak perlu membenci mereka,
mengikuti acara-acara mereka, enggan menyebut mereka kafir, atau bahkan
menyerukan bahwa semua agama sama dan benar, dengan berdalil dengan ayat:
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً
لِلْعالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat
bagi alam semesta” (QS. Al Anbiya: 107)
Padahal bukan
demikian tafsiran dari ayat ini. Allah Ta’ala menjadikan Islam sebagai rahmatbagi
seluruh manusia, namun bentuk rahmat bagi orang kafir bukanlah
dengan berkasih sayang kepada mereka. Bahkan telah dijelaskan oleh para ahli
tafsir, bahwa bentuk rahmatbagi mereka adalah dengan tidak ditimpa
musibah besar yang menimpa umat terdahulu. Inilah bentuk kasih sayang Allah
terhadap orang kafir, dari penjelasan sahabat Ibnu Abbas ra.
Bahkan
konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah membenci segala
bentuk penyembahan kepada selain Allah, membenci bentuk-bentuk penentangan
terhadap ajaran Rasulullah saw., serta membenci orang-orang yang
melakukannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ
كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ
عَشِيرَتَهُمْ
Artinya: “Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)
Namun perlu
dicatat, harus membenci bukan berarti harus membunuh, melukai, atau menyakiti
orang kafir yang kita temui. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam
tafsir beliau di atas, bahwa ada orang kafir yang wajib diperangi, ada pula
yang tidak boleh dilukai. Menjadikan surat Al Anbiya ayat 107 sebagai dalil
pluralisme agama juga merupakan pemahaman yang menyimpang. Karena ayat-ayat Al
Qur’an tidak mungkin saling bertentangan. Bukankah Allah Ta’ala sendiri
yang berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ
Artinya: “Agama
yang diridhai oleh Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19)
Juga firman
Allah Ta’ala:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ
دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Artinya: “Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS.
Al Imran: 85)
Orang yang
mengusung isu pluralisme mungkin menafsirkan ‘Islam’ dalam ayat-ayat ini dengan
‘berserah diri’. Jadi semua agama benar asalkan berserah diri kepada Tuhan,
kata mereka. Cukuplah kita jawab bualan mereka dengan sabda Rasulullah saw.:
الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله
وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن
استطعت إليه سبيلا
”Islam itu
engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain
Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke
Baitullah jika engkau mampu melakukannya” (HR. Muslim no.8)
Justru surat Al
Anbiya ayat 107 ini adalah bantahan telak terhadap pluralisme agama. Karena
ayat ini adalah dalil bahwa semua manusia di muka bumi wajib memeluk agama
Islam. Karena Islam itu ‘lil alamin‘, diperuntukkan bagi seluruh manusia di
muka bumi. Sebagaimana dijelaskan Imam Ibnul Qayyim di atas: “Islam adalah
rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan
mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya”.
- Berkasih sayang dalam kemungkaran
Sebagian kaum
muslimin membiarkan orang-orang meninggalkan shalat, membiarkan pelacuran
merajalela, membiarkan wanita membuka aurat mereka di depan umum bahkan
membiarkan praktek-praktek kemusyrikan dan enggan menasehati mereka karena
khawatir para pelaku maksiat tersinggung hatinya jika dinasehati, kemudian
berkata : “Islam kan rahmatan lil’alamin, penuh kasih sayang”.
Sungguh aneh, padahal bukanlah demikian tafsir surat Al Anbiya ayat 107 ini.
Islam sebagai rahmat Allah bukanlah bermakna berbelas kasihan
kepada pelaku kemungkaran dan membiarkan mereka dalam kemungkarannya.
Sebagaiman dijelaskan Ath Thabari dalam tafsirnya di atas, “Rahmat bagi orang
mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah saw.
Beliau memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal
mereka terhadap ajaran Allah”.
Maka bentuk
kasih sayang Allah terhadap orang mu’min adalah dengan memberi mereka petunjuk
untuk menjalankan perinta-perintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh
Allah, sehingga mereka menggapai jannah. Dengan kata lain, jika
kita juga merasa cinta dan sayang kepada saudara kita yang melakukan maksiat,
sepatutnya kita menasehatinya dan mengingkari maksiat yang dilakukannya dan
mengarahkannya untuk melakukan amal kebaikan.
Dan sikap rahmat pun
diperlukan dalam mengingkari maksiat. Sepatutnya pengingkaran terhadap maksiat
mendahulukan sikap lembut dan penuh kasih sayang, bukan mendahulukan sikap
kasar dan keras. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam bersabda:
إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه .
ولا ينزع من شيء إلا شانه
“Tidaklah
kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali akan menghiasnya. Tidaklah kelembutan
itu hilang dari sesuatu, kecuali akan memperburuknya” (HR. Muslim no. 2594)
- Berkasih sayang dalam penyimpangan beragama
Adalagi yang
menggunakan ayat ini untuk melegalkan berbagai bentuk bid’ah, syirik dan khurafat.
Karena mereka menganggap bentuk-bentuk penyimpangan tersebut adalah perbedaan
pendapat yang harus ditoleransi sehingga merekapun berkata: “Biarkanlah kami
dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami, bukankah Islam rahmatan
lil’alamin?”. Sungguh aneh.
Menafsirkan
rahmat dalam surat Al Anbiya ayat 107 dengan kasih sayang dan toleransi
terhadap semua pemahaman yang ada pada kaum muslimin, adalah penafsiran yang
sangat jauh. Tidak ada ahli tafsir yang menafsirkan demikian.
Perpecahan
ditubuh ummat menjadi bermacam golongan adalah fakta, dan sudah diperingatkan
sejak dahulu oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Dan
orang yang mengatakan semua golongan tersebut itu benar dan semuanya dapat
ditoleransi tidak berbeda dengan orang yang mengatakan semua agama sama.
Diantara bermacam golongan tersebut tentu ada yang benar dan ada yang salah.
Dan kita wajib mengikuti yang benar, yaitu yang sesuai dengan ajaran Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa sallam. Bahkan Ibnul Qayyim mengatakan tentang rahmat dalam
surat Al Anbiya ayat 107: “Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan
di dunia dan akhirat sekaligus”. Artinya, Islam adalah bentuk kasih sayang
Allah kepada orang yang mengikuti golongan yang benar yaitu yang mau mengikuti
ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Pernyataan
‘biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami’ hanya berlaku
kepada orang kafir. Sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Kaafirun:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا
أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلَا أَنَا
عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ
وَلِيَ دِينِ
Artinya: “Katakanlah:
‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang
aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku‘” (QS.
Al-Kafirun: 1-6)
Sedangkan
kepada sesama muslim, tidak boleh demikian. Bahkan wajib menasehati bila
saudaranya terjerumus dalam kesalahan. Yang dinasehati pun sepatutnya lapang
menerima nasehat. Bukankah orang-orang beriman itu saling menasehati dalam
kebaikan?
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي
خُسْرٍإِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ
وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Artinya: “Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya
mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”
(QS. Al ‘Ashr: 1 – 3)
Dan menasehati
orang yang berbuat menyimpang dalam agama adalah bentuk kasih sayang kepada
orang tersebut. Bahkan orang yang mengetahui saudaranya terjerumus ke dalam
penyimpangan beragama namun mendiamkan, ia mendapat dosa. Sebagaimana sabda
Nabi Muhammad saw.:
إذا عملت الخطيئة في الأرض كان من
شهدها فكرهها كمن غاب عنها . ومن غاب عنها فرضيها ، كان كمن شهدها
“Jika engkau
mengetahui adanya sebuah kesalahan (dalam agama) terjadi dimuka bumi, orang
yang melihat langsung lalu mengingkarinya, ia sama seperti orang yang tidak
melihat langsung (tidak dosa). Orang yang tidak melihat langsung namun ridha
terhadap kesalahan tersebut, ia sama seperti orang yang melihat langsung
(mendapat dosa)” (HR. Abu Daud no.4345, dihasankan Al Albani dalam Shahih
Sunan Abi Daud)
Perselisihan
pendapat pun tidak bisa dipukul-rata bahwa semua pendapat bisa ditoleransi.
Apakah kita mentoleransi sebagian orang sufi yang berpendapat shalat lima waktu
itu tidak wajib bagi orang yang mencapai tingkatan tertentu? Atau sebagian
orang kejawen yang menganggap shalat itu yang penting ‘ingat
Allah’ tanpa harus melakukan shalat? Apakah kita mentoleransi pendapat
Ahmadiyyah yang mengatakan bahwa berhaji tidak harus ke Makkah? Tentu tidak
dapat ditoleransi. Jika semua pendapat orang dapat ditoleransi, hancurlah agama
ini. Namun pendapat-pendapat yang berdasarkan dalil shahih, cara
berdalil yang benar, menggunakan kaidah para ulama, barulah dapat kita
toleransi.
- Menyepelekan permasalahan aqidah
Dengan
menggunakan ayat ini, sebagian orang menyepelekan dan enggan mendakwahkan
aqidah yang benar. Karena mereka menganggap mendakwahkan aqidah hanya akan
memecah-belah ummat dan menimbulkan kebencian sehingga tidak sesuai dengan
prinsip bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.
Renungkanlah
perkataan Ash Shabuni dalam menafsirkan rahmatan lil ‘alamin:
“BeliauShallallahu ‘alaihi Wa sallam memberikan pencerahan kepada
manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah
kepada menusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud
rahmat Allah bagi seluruh manusia”. Rasulullah saw. menjadi rahmat bagi
seluruh manusia karena beliau membawa ajaran tauhid. Karena manusia pada masa
sebelum beliau diutus berada dalam kesesatan berupa penyembahan kepada
sesembahan selain Allah, walaupun mereka menyembah kepada Allah juga. Dan
inilah inti ajaran para Rasul. Sebagaimana firman AllahTa’ala:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ
رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): ‘Sembahlah Allah saja, dan jauhilah Thaghut’ ” (QS.
An Nahl: 36)
Selain itu, bukankah masalah aqidah
ini yang dapat menentukan nasib seseorang apakah ia akan kekal di neraka atau
tidak? Allah Ta’ala berfirman:
اِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ
فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا
لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu
dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah
neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun” (QS. Al Maidah: 72)
Oleh karena
itu, adakah yang lebih urgen dari masalah ini?
Kesimpulannya, justru dakwah tauhid, seruan untuk
beraqidah yang benar adalah bentuk rahmat dari Allah Ta’ala.
Karena dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. adalah rahmat Allah,
maka bagaimana mungkin menjadi sebab perpecahan ummat? Justru kesyirikanlah
yang sebenarnya menjadi sebab perpecahan ummat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا
لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Janganlah
kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang
memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap
golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS. Ar
Ruum: 31-32)
E.
Pemahaman Yang
Benar
Berdasarkan
penafsiran para ulama ahli tafsir yang terpercaya, beberapa faedah yang dapat
kita ambil dari ayat ini adalah:
- Di utusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallamsebagai Rasul Allah adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
- Seluruh manusia di muka bumi diwajibkan memeluk agama Islam.
- Hukum-hukum syariat dan aturan-aturan dalam Islam adalah bentuk kasih sayang AllahTa’alakepada makhluk-Nya.
- Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
- Rahmat yang sempurna hanya didapatkan oleh orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
- Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
- Orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, membenarkan beliau serta taat kepada beliau, akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
- Orang kafir yang memerangi Islam juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, yaitu dengan diwajibkannya perang melawan mereka. Karena kehidupan mereka didunia lebih lama hanya akan menambah kepedihan siksa neraka di akhirat kelak.
- Orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum musliminjuga mendapat rahmatdengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Yaitu dengan dilarangnya membunuh dan merampas harta mereka.
- Secara umum, orang kafir mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi Wa sallamberupa dihindari dari adzab yang menimpa umat-umat terdahulu yang menentang Allah. Sehingga setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, tidak akan ada kaum kafir yang diazab dengan cara ditenggelamkan seluruhnya atau dibenamkan ke dalam bumi seluruhnya atau diubah menjadi binatang seluruhnya.
- Orang munafik yang mengaku beriman di lisan namun ingkar di dalam hati juga mendapat rahmatdengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain. Namun di akhirat kelak Allah akan menempatkan mereka di dasar neraka Jahannam.
- Pengutusan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat karena beliau telah memberikan pencerahan kepada manusia yang awalnya dalam kejahilan dan memberikan hidayah kepada manusia yang awalnya berada dalam kesesatan berupa peribadatan kepada selain Allah.
- Sebagian ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini diberikan juga kepada orang kafir namun mereka menolaknya. Sehingga hanya orang mu’min saja yang mendapatkannya.
- Sebagain ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini hanya diberikan orang mu’min.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Islam diturunkan untuk membawa kebaikan, kedamaian dan keselamatan bagi
seluruh penduduk bumi. Agama Islam diturunkan oleh Allah SWT kepada Muhammad
SAW sebagai penyempurna agama-agama sebelumnya. Allah menjelaskan dalam Al
Quran, bahwasannya barang siapa yang mencari agama selain Islam, maka
sekali-kali tidak akan diterima agama tersebut, sebab segala kesempurnaan agama
telah ada pada Islam itu sendiri. . Islam memberi solusi, Islam memberi
perubahan dan kemuliaan atas kehidupan makhluk di muka bumi. Inilah yang
menjadi alasan mengapa Islam adalah rahmat bagi semesta alam.
Para ulama mu’tabar pun menjelaskan ar-rahmat dalam ayat
tersebut berkaitan dengan penerapan syariah Islam kâffah dalam kehidupan
sebagai tuntutan akidah Islam yang diemban oleh Rasulullah saw.
Di antaranya
adalah ulama Nusantara yang mendunia, Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1316 H). Ia
menyatakan:
Tidaklah Kami
mengutus engkau, wahai sebaik-baiknya makhluk, dengan membawa ajaran-ajaran
syariah-Nya, kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta, yakni agar menjadi
rahmat Kami bagi alam semesta seluruhnya; bagi agama ini dan kehidupan dunia."
Diantaranya pemahaman yang salah kaprah adalah: (1) Berkasih sayang dengan
orang kafir, (2) Berkasih sayang dalam kemungkaran, (3) Berkasih sayang dalam
penyimpangan beragama, (4) Menyepelekan permasalahan aqidah
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb
al-Qur’ân, Maktabah Nazâr Mushthafa al-Bâz, (I/253-254)
Departemen Agama RI. Al-Qur’an
dan Terjemah.
Izzuddin bin ‘Abdissalam, Tafsîr al-Qur’ân,
Beirut: Dâr Ibn Hazm, Cet.I, 1996, (II/341)
0 komentar:
Posting Komentar